Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji mengkritik rencana perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, khususnya mengenai kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK.

Dia berpendapat, jika kewenangan penyadapan itu ditiadakan, maka KPK akan kehilangan taji. Pasalnya, salah satu cara KPK menjerat adalah dengan penyadapan, yang ditindaklanjuti dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

“Konsep penyadapan dilakukan pada tahap pro justitia justru akan meniadakan wewenang OTT sebagai ‘bumper’ terdepan KPK dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi,” kata Indriyanto, saat dikonfirmasi, Rabu (17/6).

Lebih jauh disampaikan Indriyanto, bagaimana pun penyadapan terhadap seseorang yang berpotensi menjadi tersangka, harus dilakukan pada tahap penyelidikan. Jikalau hal itu dimulai pada tahap penyidikan, secara otomatis upaya itu tidak akan berguna.

“Misalnya penyadapan hanya ditujukan pada pihak-pihak yang telah diproses pro justitia. Tindakan ‘wiretapping’ atupun ‘surveillance’ itu menjadi bagian dari tahap penyelidikan yang ‘non projustitia’. Artinya secara ‘a contrario’, penyadapan pada tahap ‘pro justitia’ sudah tak memiliki nilai lagi,” paparnya

Menurut pakar hukum pidana ini, berbagai rencana revisi UU KPK merupakan upaya pelemahan secara sistematis. Langkah tersebut menurut Indriyanto sudah tercium sejak penetapan tersangka masuk menjadi objek praperadilan.

“Sejak adanya gesekan pada kasus-kasus praperadilan makin terlihat adanya usaha sistematis bagi pelemahan lembaga KPK, baik melalui metode yustisial peradilan maupun metode kelembagaan politik (DPR),” pungkasnya.

Seperti diketahui, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Ini merupakan hasil rapat antara Badan Legislasi DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby