Jakarta, Aktual.com — Penyidik Bareskrim Polri menegaskan kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama TPPI, dan BP Migas (SKK Migas) mengalami total lost. Untuk melakukan perhitungan kerugian pasti dari penunjukkan langsung penjualan kondensat, Polri melayangkan permintaan resmi ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“BPK telah menerima permintaan resmi Bareskrim Polri untuk meminta BPK melakukan Perhitungan Kerugian Negara (PKN) atas kasus penunjukkan TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara,” ujar Juru Bicara BPK RI, Yudi Ramdan kepada Aktual, Jumat (19/6).
Dalam dugaan korupsi yang merugikan negara senilai Rp2 triliun, penyidik bareskrim Polri menemukan pelanggaran dalam proses penunjukan langsung penjualan kondensat TPPI yang dipasok dari BP Migas. Selain itu, TPPI juga diduga menyelewengkan kebijakan penjualan kondensat yang seharusnya dipasok ke Pertamina.
“Guna memenuhi permintaan Bareskrim Polri terhadap PKN, BPK membentuk tim pemeriksa untuk menghitung kerugian negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelasnya.
Untuk diketahui, pada kasus ini penyidik telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni DH, RP dan HW. Dari ketiga itu, hanya HW yang belum diperiksa karena mengaku sakit di Singapura.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor Edison Simanjuntak mengaku, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana posisi perkara penjualan kondensat tersebut.
“Kordinasi dengan BPK adalah kaitannya dengan penentuan kerugian negara,” jelas Victor di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Victor mengatakan bahwa BPK berpendapat kasus ini mengalami total lost. (Baca: Bareskrim Gandeng BPK usut korupsi TPPI)
Menurutnya, dalam Undang-undang Minyak dan Gas, kontrak itu merupakan payung hukum dimana dalam hal ini negara dengan kontraktor dapat membagi mana bagian negara mana untuk kontraktor.
Kemudian, apabila terjadi perselisihan negara dan kontraktor sudah diatur dalam kontrak tersebut. “Sekarang ada lifting yang sudah dilakukan tapi kontraknya tidak ada. Berarti ini sejak awal sudah salah, sampai ke belakang tentu juga salah,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka