Medan, Aktual.com — Blok Garcinia. Begitu sebutan Chief Humas Survey Seismik 3D Garcinia Pertamina EP, Sumatera Utara, Subarkah mengungkap pertanyaan Aktual.com beberapa waktu lalu saat berbincang-bincang terkait operasi pencarian dan pendataan minyak yang sebelumnya dikeluhkan warga Komplek Griya Sapta Marga, Desa Sei Mencirim, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumut.
Pendataan dengan metode survei seismik 3 Dimensi itu tengah dalam pengerjaan. Blok Garcinia, meliputi 4 wilayah yakni Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kota Medan dan Kota Binjai.
Sebanyak 47.300 titik di 360 Desa di bor dan diledakkan untuk pengambilan data seismik. Diklaim, survey dan pendataan seismik 3 Dimensi di Blok Garcinia merupakan survey terbesar dan terlama yang dilakukan oleh Pertamina EP.
“Potensi ada (besar-red), cuma dimana palungnya, itu yang sedang di survei. Tapi bisa abang bayangkan, survei seismik selama 2 tahun. Artinya potensinya sangat besar,” ungkap Subarkah.
Pengamat geologi, Raya Timbul Manurung ditemui Aktual.com belum lama ini mengatakan, survey seismik yang sedang pengerjaan belum dapat menyimpulkan bahwa terdapat kandungan minyak yang cukup besar pada blok Garcinia.
Menurutnya, di Sumatera Utara memang terdapat cekungan yang didalamnya terkandung potensi minyak. Itu juga yang menyebabkan, di beberapa daerah pantai timur Sumut terdapat begitu banyak sumur bor tua yang kini ditinggalkan.
“Ada ribuan sumur tua di Sumatera Utara, setengahnya sudah ditinggalkan,” kata Timbul di Medan, Sabtu (20/6).
Alumnus Geologi UGM tahun 1980 ini mengatakan, eksplorasi survey seismik 3 Dimensi yang sedang dilakukan dalam peluang bisnis itu tentu beresiko besar. Dibutuhkan ketelitian besar untuk nantinya menentukan titik sumur bor eksplorasi dan bor produksi.
“Yang terpenting sekarang adalah menentukan dimana mau di bor. Jika terjadi kesalahan, bisa jadi buntung, kalau dari sisi bisnisnya,” ujarnya.
Kerugian besar, kata mantan Dosen Institut Teknologi Medan (ITM) ini, bisa saja tidak akan terelakkan. Apalagi mengingat harga minyak dunia yang terus berflukutasi.
“Kalaupun ada potensinya, kalau harga minyak cuma 40 dollar per barel, mau untung dari mana? Biaya produksi saja 30 dollar per barel,” sebutnya.
Menurut Timbul, yang membutuhkan perhatian cukup besar dalam eksplorasi minyak di Indonesia saat ini adalah tata kelola perijinan dan birokrasi di Indonesia yang menyita waktu sangat panjang. Bagi perusahaan yang ingin bekerja di bidang minyak, mereka harus menunggu berbulan-bulan untuk memulai pengerjaan survey.
“Belum biaya produksi. Sekali buat sumur bor itu, 10 juta dollar. Resiko minyak itu tinggi, kalau berhasil diganti pemerintah, kalau tidak, rugi di perusahaan. Investasi mulai dari konsesi, sampai produksi, belum meneliti, hanya ijin saja cukup panjang. Belum lagi mafia di SKK Migas. Main minyak itu, resiko besar dan untung besar,” katanya.
Informasi dihimpun menyebutkan, pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM mencoba menggenjot target produksi minyak 1,3 juta barel per hari (bph). Tentu nilai yang cukup jauh dari pencapaian 800 ribu barel per hari yang kini sanggup di produksi.
Informasi juga menyebutkan, cadangan minyak terbukti Indonesia berada pada posisi, 3,46 miliar barel. Jumlah itu menempatkan Indonesia pada posisi ke 28 urutan negara-negara penghasil minyak. Jumlah ini jauh jika dibandingkan dengan Venezuela dengan cadangan 298,3 miliar barel dan Arab Saudi dengan cadangan 265,9 miliar barel.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka