Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo semestinya memahami bagaimana seharusnya menjalankan amanah rakyat Indonesia melalui hajat demokrasi lima tahunan, Pilpres 2014 lalu. Dalam mengambil keputusan, berbagai indikator yang ada sudah selayaknya dijadikan dasar.
Dalam memutuskan apakah seseorang layak dan pantas menduduki jabatan strategis, rekam jejak orang dimaksud tentu sangat penting. Hal ini untuk mengetahui, apakah yang bersangkutan pernah diduga melakukan kejahatan, baik korupsi maupun pelanggaran hak asasi manusia.
Demikian disampaikan Ketua Umum Komite Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad), Haris Permata, dalam aksi menolak pencalonan Letjend TNI Purn Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), di Gedung DPR, Senayan, Selasa (23/6).
Menurutnya, Jokowi juga seharusnya mengajukan calon Kepala BIN yang berkualitas dan tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Bukan sebaliknya, mantan Wali Kota Solo itu terkesan galau lantaran tersandera hutang politik partai pendukung.
Haris lantas menyampaikan tiga tuntutan dalam aksinya. Pertama, DPR harus menyatakan figur Sutiyoso tidak layak menjadi Kepala BIN sebab diduga melanggar HAM pada Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996.
Dua, DPR harus berani mengatakan pada Bang Yos untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM dan ketiga meminta DPR memperhatikan rekam jejak Sutiyoso.
“Uji kelayakan dan kepatutan harus memperhatikan rekam jejaknya, indikator pengukurnya seperti moralitas, loyalitas, mentalitas, integritas serta kecerdasan,” tegasnya.
Aksi Kamerad di Gedung DPR ini merupakan aksi lanjutan, setelah pada Senin pekan lalu (15/6), enam anggotanya diamankan petugas pengamanan dalam (Pamdal) DPR RI. saat itu, aksi penolakan dilakukan dengan membentangkan spanduk di Gedung Nusantara III, Senayan.
“Ada beberapa kasus yang menerpa Sutiyoso dan belum ia selesaikan sehingga ia tidak layak untuk dicalonkan sebagai kepala BIN,” kata Koordinator Aksi, Samheru, sesaat setelah rekan-rekannya dibebaskan.
Artikel ini ditulis oleh: