Jakarta, Aktual.com — Pengamat pasar modal William Surya Wijaya menilai bahwa tren transaksi jual-beli saham di bursa saham pada pertengahan tahun 2015 cenderung menurun karena minimnya sentimen positif dari dalam negeri maupun luar negeri.
“Pelaku pasar cenderung ‘wait and see’ karena memang belum ada faktor penggerak bagi pelaku pasar untuk melakukan transaksi jual-beli saham secara agresif. Apalagi, terjadi di saat bulan puasa yang secara historis memang mencatatkan penurunan transaksi jual beli saham,” ujar William Surya Wijaya yang juga analis dari Asjaya Indosurya Securities di Jakarta, Rabu (25/6).
Di sisi lain, dia menambahkan bahwa pada pertengahan tahun ini perusahaan Manajer Investasi atau Fund Manager juga sedang melakukan penyesuaian dana kelolaan dengan mengatur ulang portofolio agar nilainya tidak tergerus di tengah tren pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang melemah.
“Sebagian perusahaan Manajer Investasi melakukan ‘rebalancing’ portofolionya pada pertengahan tahun dan setiap akhir tahun. Jadi wajar jika transaksi saham cenderung menurun,” katanya.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), rata-rata nilai transaksi harian per 24 Juni 2015 sebesar Rp6,37 triliun.
Sementara dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2015 BEI memproyeksikan rata-rata nilai transaksi harian saham sepanjang 2015 mencapai Rp7 triliun dengan jumlah hari bursa sebanyak 245 hari.
Namun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,4-5,7 persen, laju inflasi di kisaran 5,5-5,75 persen, dan kurs rupiah Rp12.000 per dolar AS.
William Surya Wijaya meyakini bahwa pada semester II mendatang transaksi jual-beli saham akan meningkat menyusul akan adanya percepatan penyerapan anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur yang pada akhirnya dapat menopang perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, lanjut dia, aktivitas transaksi di pasar saham juga akan lebih marak menyusul langkah pemerintah yang akan membuka kepemilikan asing terhadap produk properti di dalam negeri dan kejelasan tentang aturan pelonggaran “loan to value” (LTV) untuk produk properti dan otomotif.
“Kebijakan pemerintah yang melonggarkan LTV tidak hanya untuk KPR tetapi juga produk konsumer lainnya termasuk produk otomotif merupakan langkah untuk menggairahkan kembali pasar di industri masing-masing. Pada ujungnya tentu akan mendorong lagi perekonomian semakin tumbuh,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka