Jakarta, Aktual.com — Pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto Seno Adji tak habis pikir dengan para pihak yang bersemangat mendorong revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

“Saya kurang paham dengan pihak-pihak yang bersemangat untuk revisi UU KPK khususnya terkait muruah KPK berupa penyadapan (wiretaping),” kata Indriyanto kepada melalui pesan singkat kepada wartawan, Jumat (26/6).

Indriyanto menilai, para pihak yang begitu semangat ingin merevisi UU KPK tak terlepas dari adanya kekhawatiran para pelaku koruptor yang kerap diciduk tim satgas KPK melalui operasi tangkap tangan. Tak hanya itu, rencana merevisi penyadapan ini juga merupakan rangkaian upaya mendelegitimasi kelembagaan KPK.

“Kemungkinan ada rasa kekhawatiran akan maupun telah jadi korban OTT. Ada juga rasa iri atau ekstremnya akan melakukan delegitimasi kelembagaan KPK,” ujar dia.

Padahal, sambung Indriyanto, sesuai Pasal 26 UU Tipikor, kewenangan penyadapan dapat dilakukan sejak proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Pasal ini termasuk penjelasannya tidak pernah dihapus sejak UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharuai menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.

“Perlu diketahui bahwa sesuai Pasal 26 UU Tipikor dan penjelasannya yang tidak pernah dihapus sejak UU Nomor 31/1999 yang diperbaharuai UU Nomor 20/2001, sejak proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, diperkenankan melakukan penyadapan atau wiretapping,” kata dia.

Indriyanto menambahkan, KPK merupakan satu-satunya lembaga penegak hukum yang kinerja penyadapannya dimonitoring dan dievaluasi ketat oleh Menkominfo baik secara teknis maupun administratif. Dengan demikian, penyadapan yang dilakukan KPK memiliki dasar yang ketat dan tegas.

“Jadi jangan punya pemahaman seolah penegak hukum lainnya tidak dapat melak wiretapping, bahkan joint eracadiation corruption diantara lembaga penegak hukum dengan legitimasi sadap adalah sesuatu yang efektif dan bermanfaat bagi negara,” kata dia.

Indriyanto juga mengatakan, DPR yang berinisiatif merevisi UU KPK seharusnya memperhatikan kolom mengingat pada UU KPK. Revisi UU KPK seharusnya dilakukan dengan merujuk dan terlebih dahulu melakukan harmonisasi terhadap UU terkait seperti KUHAP, UU KKN, UU Tipikor.

“Karena revisi tanpa adanya harmonisasi UU terkait justru menimbulkan overlapping dan overbodig yang akan menimbulkan disharmonisasi dan merusak tahanan unifikasi dan kodifikasi hukum (pidana).”

DPR resmi memasukkan revisi UU KPK ke dalam program legislasi nasional prioritas 2015. Sejumlah pasal yang akan direvisi DPR setelah dibahas Badan Legislasi diantaranya mengenai kewenangan penuntutan, penyadapan, dan penghentian penyidikan.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu