Medan, Aktual.co — Menjadi Penjaga Batu Lubang, sejak awal bagi Robert menjadi tantangan hidup tersendiri. Apalagi untuk menghidupi istri dan ke 5 anaknya, pun soal honor, saat menggeluti profesi barunya sekitar tahun 2007 silam, tergolong kecil, yakni Rp350 per bulan.
Saat ini, anak pertama Robert memang sudah menikah dan diberi dua orang anak, anak ke dua berada di pulau Nias dan tengah mencari kerja, yang nomor tiga duduk di kelas 2 SMA Sitahuis, anak ke empat kelas 2 SMP yang terakhir kelas 6 di Desa Simaninggir.
“Ya, penuh keyakinan saja. Waktu itu tahun 2007 masih Rp350 ribu, perlahan-perlahan sekitar tahun 2010 naik Rp1,5 juta,” sebut Robert.
Ketekunan dan keuletan Robert, bukan tanpa alasan, kisah awal sang Mertua menjaga Batu Lubang itu masih cukup jelas di ingatannya. Yakni, sebuah mimpi didatangi seorang nenek tua yang memberi amanah dan petuah.
“Awalnya tahun 1991, usai (Batu Lubang) dilebarkan pakai dinamit, kira-kira seminggu sudah dikerjakan, bermimpilah mertuaku didatangi nenek-nenek, jenggotnya panjang, kamu kerja di batu lubang, semua rumah disitu sudah kenak debu, kata nenek itu,” kisah Robert.
Dalam mimpi itu, sambung Robert, sang Mertua dibawa oleh Nenek itu ke lokasi Batu Lubang dan ditunjukkan komplek rumah beratap genteng yang penuh debu dan tak terawat.
“Jadi dibawalah mertua ku kesini (Batu Lubang-red), banyak rumah genteng datar semua, di jurang itu,” tuturnya.
Awalnya, dalam mimpi itu sang Mertua Robert sempat menolak, karena mengaku tak akan sanggup membersihkan rumah yang cukup banyak itu. Namun oleh Nenek, dirinya dijanjikan akan diberi sebuah kompresor untuk membantu membersihkan rumah-rumah itu.
“Mertuaku awalnya menolak. Lalu kata nenek itu, kukasih kompresor biar ada alatmu membersihkan, memang ditengok sudah banyak abu,” katanya.
Usai mimpi itu datang, tak genap seminggu, pihak Dinas PU Kabupaten Tapteng pun datang menemui Mertua Robert. Benar saja, ia ditawarkan untuk mengerjakan Batu Lubang.
Berkat pesan Nenek dalam mimpi itu, Mertua Robert tak mau mempertanyakan soal honor kepada pihak Dinas PU. Ia langsung menerima dan bekerja sebagai penjaga Batu Lubang.
“Kalau soal gaji ditanyak jugaknya itu, tapi dibilang nenek pesannya, jangan meminta, apa yang kau butuhkan datang sendiri. Amanahnya harus membantu,” kata Robert.
Pesan Nenek kepada almarhum Mertua itu sangat dipegang teguh oleh Robert. Tentu saja dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai agama, Robert tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Setelah menjalani hari-hari berat menghidupi keluarga, sejak tahun 2013 silam, Robert akhirnya diangkat menjadi Honorer Pemkab Tapteng dan diberi gaji Rp2,5 juta sebulan.
“Aku udah kurasakan itu. Belakangan kita ditengok rajin, diangkatlah, diminta data-data kita, udah diangkat menjadi honorer, Rp2,5 juta sebulan. Tapi ya itu, tetap seperti pesan Nenek itu, jangan meminta, apa yang kau butuhkan datang sendiri, dan harus membantu orang lain, dan tentu dengan doa kepada Tuhan,” kenang Robert.
Kini, lanjut Robert, dirinya tidak hanya sekedar menjaga dan membersihkan ke dua Batu Lubang itu. Dirinya semakin dipercaya sebagai sumber informasi terkait apa saja yang terjadi di kawasan Batu Lubang sekitarnya.
“Jadi nggak hanya supir teman aku, atau orang PU, mulai Polisi, teman-teman wartawan, kadang aku yang jadi sumber informasi, misalnya ada longsor atau kemacetan. Dan, kalau kutengok, ada truk besar lewat malam, aku langsung keluar ke Batu Lubang, takutnya dia (Truk) nya nyangkut, kan jadi macet, kasihan pengendara lain. Dan, selalu saja ada yang berhati baik memberikan sekedar uang kopi,” ungkapnya.
Menjaga Batu Lubang, tutur Robert menjadi profesi yang cukup ia nikmati. Di moment-moment tertentu, Robert akan bekerja ekstra membersihkan Batu Lubang. Karena, akan banyak pengendara yang lewat akan singgah untuk mengabadikan lokasi bersejarah itu.
“Kalau natal atau momen-monen tertentu, aku bersihkan lah semua ini. Kan banyak yang photo-photo, biar nampak rapi dan cantik, pengunjungnya senang dan nyaman,” tutur Robert.
Robert tak menampik, pekerjaannya sebagai penjaga Batu Lubang kerap dikait-kaitkan dengan kesan mistis lokasi yang dikenal angker dan menyisakan banyak cerita aneh itu. Bahkan Robert dianggap memiliki ilmu kanuragan.
“Dulu disini (Batu Lubang) memang sering datang orang-orang bawa persembahan, bawa ayam putih atau kemenyan. Sebelum aku kerja banyak yang menjadikan lokasi ini tempat pesugihan, bawak ayam. Tapi sekarang sudah gak ada. Sama aku juga banyak yang minta-minta ilmu,” tutur Robert senyum-senyum mengingat hal itu.
Padahal pengakuan Robert, sejak bekerja 7 tahun silam, tak pernah dirinya merasakan keanehan atau keganjilan.
“Selama kerja disini, bermimpi gak pernah, suara aneh pun gak pernah, takut gak pernah. Kalau aku merasakan biasa, memang kalau dibilang orang banyak, bukan satu dua orang, batu lubang ini rawan, ada yang bilang perempuan cantik panjang rambutnya, ada orang tua pakek tongkat, ada mukaknya gak jelas,” ucapnya.
Sebagai penjaga Batu Lubang, Robert menaruh harapan besar agar lokasi yang menyimpan catatan sejarah penjajahan Belanda itu mendapatkan perhatian lebih. Tidak hanya oleh pemerintah tapi juga masyarakat dan para pengunjung.
Misalnya, tutur Robert, masih kerapnya anak-anak yang datang meminta-minta duit kepada para pengendara yang lewat. Tak jarang, jika itu terjadi, Robert merasa, bisa saja para pengendara mengira bahwa dirinyalah dibalik aksi pengutipan liar itu.
“Makanya kadang aku seharian disini menjaga itu, nanti dikira aku yang nyuruh. Kalau boleh jangan lah ada yang mintak-mintak duit sama pengendara,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Robert, ekspektasi agar dua Batu Lubang itu lebih dihias dan dipercantik. Tentu, akan lebih banyak yang singgah dan berkunjung.
“Ya kalau bisa disini dihias lah, dikasih lampu, kasih penerangan biar orang pun nyaman. Batu lubang ini kurang di pedulikan, ya harapan kita lebih dipedulikan lah,” harapnya.
Sekilas tentang Batu Lubang adalah salah satu jalur trans Sumatera Utara yang menghubungkan beberapa daerah di pantai barat. Batu Lubang merupakan bukti sejarah kekejaman penjajahan Belanda di Tapanuli sekira tahun 1930an silam. Dilokasi ini ratusan pekerja Rodi tewas dan dibuang begitu saja ke dalam jurang.
Batu Lubang yang awalnya sempit akhirnya oleh pemerintah mendapat pengerjaan untuk dilebarkan. Kala itu, pada tahun 1976, pemerintah dengan menggunakan dinamit menambah besarnya lubang agar dapat dilalui kendaraan dengan kapasitas besar.
Artikel ini ditulis oleh:

















