Medan, Aktual.co — Siang mulai bergerak menuju sore, waktu menunjukkan pukul 15.00wib. Awan dilangit tampak biru keabuan menandakan akan turun hujan. Suasana temaram menyelimuti, menambah gelapnya dua buah terowongan batu yang berada di kilometer 8, Kawasan Dusun Simaninggir, Desa Bonandolok, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapteng, Sumatera Utara.
Meski lebih gelap dari biasanya, terowongan batu yang dikenal dengan Batu Lubang dan menjadi salah satu jalur jalan lintas Sumatera Utara itu sebaliknya semakin ramai dilintasi berbagai jenis kendaraan. Mayoritas kendaraan truk-truk memang memilih melewati jalur ini pada waktu-waktu menjelang sore atau malam hari.
Bunyi klakson kendaraan, sesekali disusul teriakan-teriakan kernet truk yang memandu supir mengarahkan kendaraan ditengah terowongan semakin kerap terdengar di dua terowongan batu yang masing-masing memiliki panjang 20 dan 40 meter itu.
Klakson memang harus dibunyikan sebelum memasuki bibir terowongan, tak lupa lampu kendaraan juga harus hidup. Selain untuk memberitahu kendaraan lain dari arah berlawanan agar tidak berpapasan ditengah terowongan, klakson dipercaya sebagai mitos ungkapan ‘permisi’.
Lalu, supir truk memang harus dipandu oleh kernet, kalau tidak alhasil bahu truk bisa saja nyangkut dilangit-langit terowongan yang memang cadas. Kemacetan parah tidak akan terhindarkan jika itu terjadi, karena upaya melepaskan bahu truk yang sangkut bisa memakan waktu hingga ber jam.
“Kiri-kiri, ambil kanan dikit, lempang (lurus),” teriak kernet. Truk pun mulus melaju perlahan.
Diantara sibuk lalu-lalang kendaraan, disisi terowongan Lubang Batu seorang pria separuh baya, Robert Tarihoran (45) dengan sepatu karet, sapu lidi, beko sorong, cangkul, parang dan beberapa perlengkapan lainnya dengan telaten membersihkan rerumputan yang tumbuh liar di celah-celah batu terowongan. Celah-celah batu itu memang lembab karena terus dialiri air dari celah-celah batu, menjadikan rumput tumbuh subur.
Robert terus mengais, mengumpulkan rumput, daun atau sampah yang berserakan lalu menyapunya. Tentu sambil memperhatikan kendaraan yang lewat. Sesekali menyahut sapaan para supir yang terlihat akrab dengannya.
Robert adalah penjaga Batu Lubang sisa sejarah penjajahan Belanda di tahun sekitar 1930-an itu. Robert mengerjakan profesinya itu sejak 8 tahun yang silam. Ia mewarisi pekerjaan itu dari ayah mertuanya.
“Kalau aku sudah delapan tahun. Dulunya pekerjaan ini dari Mertua aku, sejak 1992 sampai tahun 2007. Dia sudah meninggal, dan aku sekarang yang meneruskan pekerjaan disini,” tutur Robert saat ditemui Aktual.co disela-sela pekerjaannya baru-baru ini.
Dengan mimik wajah yang ramah dan senyum khas sembari terus mengais rumput di celah batu dengan cangkul kecil miliknya, Robert berkisah, sebelum mewarisi pekerjaan itu dari sang Mertua, dirinya hidup dari warung kecil di depan rumahnya di desa Bonandolok.
Empat hari berselang, sepeninggal sang Mertua, Robert didatangi oleh pihak Dinas PU Kabupaten Tapteng. Tak hanya Robert, dua orang iparnya juga ditemui dan ditawarkan pekerjaan itu. Namun, kedua iparnya itu menolak karena bekerja sebagai supir.
Berbeda dengan kedua iparnya, meski Robert sempat menolak karena tak mengetahui berapa jumlah honor yang dibayarkan, Robert akhirnya menerima pekerjaan itu.
“Datang orang PU, ditanya kerjaku, iparku dua-duanya supir, nah dijemputlah aku kerumah, aku sempat menolak tapi akhirnya kutrima. Kerja seminggu, pernah mau berhenti, lantaran aku belum tau berapa gaji,” ucap Robert sambil mengusap rambutnya yang semakin ramai ditumbuhi uban.
Robert menyadari konsekuensi menerima pekerjaan itu, yakni warung miliknya akan terbengkalai karena hanya akan dikerjakan sang Istri, S. Simbolon. Namun dengan tekad dan keyakinan, ayah 5 anak dan 2 cucu ini tekun menjalani pengabdiannya meneruskan warisan pekerjaan dari sang mertua.
Benar saja, berjalan 6 bulan menjalani profesi barunya, warung milik Robert tak lagi dikelola dan tutup sepenuhnya. Namun, dengan penuh keyakinan dia tetap menjalani pekerjaannya meski kebutuhan dapur kurang tercukupi.
“Setengah tahun warung tutup, jadi kalau dipikir-pikir kerja diladang ngambil karet sama nya disini, tapi enaknya sini, kita kerja nggak dipaksa, dan tapi ya, ada juga supir mobil yang baik,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh:

















