Jakarta, Aktual.co — Dualisme kepengurusan yang menimpa Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bukan sesuatu yang baru. Apalagi bila dikaitkan dengan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah, dualisme kepengurusan di tingkat DPP pernah juga terjadi pada kurun waktu 2010-2013. Beberapa partai politik yang bersengketa di tingkat DPP kurun waktu 2010-2013 seperti Partai Kedaulatan dan Partai Peduli Rakyat Nasional.
Berbeda Partai berbeda pula kondisi yang terjadi. Didalam perselisihan Partai Kedaulatan dan PPRN hampir tidak ada persoalan yang berarti. Pilkada tetap bisa jalan tanpa ada ribut-ribut seperti yang terjadi saat ini yang menimpa Golkar dan PPP. Bisa dimaklumi Golkar dan PPP merupakan Partai yang memiliki basis massa dan dukungan di tingkat bawah yang sangat kuat sehingga nuansa politik pun sangat dominan dalam sengketa yang terjadi.
Berkaca dan membandingkan dari pengalaman penyelesaian sengketa internal kepengurusan antara Undang-Undang 2 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 maka kita bisa mencarikan sebuah kepastian hukum dari konflik yang terjadi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan Partai Politik dilakukan dengan musyawarah mufakat. Para pihak diwajibkan terlebih dahulu menempuh upaya islah atau damai dalam menyelesaikan persoalan internal partai politik.Dalam hal musyawarah mufakat tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase politik. Penyelesaian di luar pengadilan ini merujuk pada AD/ART Partai Politik yang bersangkutan.
Dalam hal para pihak menempuh jalur pengadilan maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri. Putusan Pengadilan Negeri bersifat Final dan Mengikat dan hanya dapat diajukan upaya kasasi. Pengadilan Negeri menyelesaikan paling lama 60 hari dan Mahkamah Agung menyelesaikan 30 hari sejak gugatan terdaftar.
Penjelasan Pasal 32 menjelaskan bahwa sengketa internal partai politik meliputi:
(1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan;
(2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
(3) pemecatan tanpa alasan yang jelas;
(4) penyalahgunaan kewenangan;
(5) pertanggung jawaban keuangan; dan/ atau
(6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
Partai Kedaulatan
Atas dasar ketentuan Pasal 32, Pasal 33 dan Penjelasan Pasal 33 itulah maka Sengketa DPP Partai Kedaulatan antara Hero Samudra dengan Restrianscik Baschirun di Pengadilan Tata Usaha Negara dinyatakan tidak dapat diterima. Pertimbangan pengadilan menyatakan tidak dapat diterima sebagaimana dikutip dari halaman 168 Putusan Nomor 138/G/2009/PTUN-JKTsebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 a quo, maka terbukti bahwa telah terjadi perselisihan partai politik antara Penggugat dengan Tergugat II Intervensi menyangkut perubahan Pengurus Partai Kedaulatan , dengan demik ian sebagaimana adagium Lex Specialis derogat lex Generalis (undang- undang yang bers i f a t khusus mengesampingkan ketentuan perundang-undangan yang bersifat umum) yang berlaku umum dalam hukum acara , yang dalam sengketa in i Undang- Undang Partai Politik secara khusus telah mengatur mengenai Penyelesaian Perselisihan Partai Politik melalui Pengadilan Negeri , sehingga gugatan Penggugat terhadap surat keputusan objektum litis hanya dapat dia jukan ter l eb i h dahulu melalu i Pengadilan Negeri”.

PARTAI PEDULI RAKYAT NASIONAL
Selain Partai Kedaulatan, ada juga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak dapat diterima konflik kepengurusan antara Amelia Yani dan Ricky Sitorus. Dalam Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung terhadap gugatan TUN yang tertuang di dalam perkara Nomor 150/PK/TUN/2011, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa pembentukan AD/ART yang dilakukan dihadapan Notaris selaku Pejabat Umum dan apabila telah terjadi konflik dalam perkara a quo, pada hakekatnya merupakan perkara internal Partai. Perselisihan internal dimaksud apabila tidak terselesaikan dapat menempuh upaya hukum, yang seharusnya kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo adalah Pengadilan Negeri. Sedangkan Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri dalam perkara Nomor : 366/Pdt.G/2009/PN.Jak.Tim telah diputus dengan amar putusan “Tidak dapat Diterima”. Di samping itu, selama penataan manajemen kepemimpinan PPRN Pemohon Peninjauan Kembali telah melakukan tindakan sewenang-wenang, dengan menerbitkan Surat Keputusan.”

Dari putusan pengadilan tata usaha negara dan mahkamah agung di atas terhadap sengketa yang diajukan DPP Partai Politik sudah sangat jelas bukan kewenangan peradilan tata usaha negara. Selain putusan di atas Masih ada Putusan Pengadilan lainnya yang menyatakan Pengadilan Negeri yang berwenang bukan Pengadilan Tata Usaha Negara seperti dalam sengketa DPP Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) antara Stefanus Roy Rening dan Maria Anna.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 mengubah mekanisme penyelesaian sengketa internal partai politik. Beberapa perbedaan dari perubahan tersebut antara lain:
1) Mekanisme musyawarah mufakat diubah menjadi diselesaikan oleh Mahkamah Partai Politik sebagaimana tertuang di dalam Pasal 32 ayat (2) UU No.2 Thn 2011
2) Putusan Mahkamah Partai Politik bersifat Final dan Mengikat terhadap sengketa Kepengurusan Partai Politik. Hal ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 32 ayat (5) UU No.2 Thn 2011.
Mahkamah Partai di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 diposisikan sebagai lembaga profesional yang terdiri dari ahli-ahli atau orang-orang yang mengetahui persis kondisi partai politik tersebut. Keberadaan kewenangan sengketa kepengurusan diberikan kepada Mahkamah Partai bisa dimaklumi dan dilatarbelakangi hal-hal sebagai berikut:
   a. Pengadilan sebisa mungkin menghindari perkara-perkara yang menyangkut politik supaya pengadilan tidak terbawa arus politik.
   b. Kasus-kasus di pengadilan sudah menumpuk dan jangan sampai pengadilan menjadi kerangjang sampah kasus-kasus politik
   c. Pengadilan menghindarkan diri dari kerugian menangani sengketa politik seperti perusakan sarana dan prasana.
3) Yang dapat diajukan ke pengadilan negeri tidak termasuk kepengurusan karena sudah dikecualikan di dalam Pasal 32 ayat (5), sehingga yang dapat diajukan pengadilan negeri meliputi :
a. pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik;
b. pemecatan tanpa alasan yang jelas;
c. penyalahgunaan kewenangan;
d. pertanggungjawaban keuangan; dan/atau
e. keberatan terhadap keputusan Partai Politik.
Selain perbedaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memiliki kesamaaan yakni Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili sengketa dengan obyek keputusan Menteri Hukum dan HAM. Baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 merupakan lex specialis yang tidak memberikan kewenangan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena pada prinsipnya tetap tidak ada pengaturan mengenai kewenangan PTUN di UU 2/2011 maka Putusan PTUN terdahulu menjadi mutatis mutandis untuk menyatakan tidak dapat diterima dan diterapkan dalam sengketa internal partai politik saat ini.
Selain itu PTUN tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa politik sesuai dengan beberapa yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung seperti Putusan 482/K/TUN/2003 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2005.
Catatan SEMA 8 Tahun 2005 diubah dengan SEMA 7 Tahun 2010. Namun di dalam SEMA 7 Tahun 2010 terjadi perubahan paradigma yakni PTUN boleh menangani dengan catatan. Jadi walaupun kedua SEMA tersebut ada perbedaan, pemikiran MA sudah sangat jelas PTUN harus berhati-hati dalam menilai sengketa politik dalam pemilihan yang dapat diselesaikan.

Yanda Zaihifni Ishak.PhDWasekjend Bidang Hukum DPP Golkar

Artikel ini ditulis oleh: