Jakarta, Aktual.com — Bagi Muslim yang menjalankan ibadah puasa tahun ini, berada di dalam suasana kehidupan publik yang tumbuh dengan berita korupsi dan skandal politik.
Elit penguasa menudingkan telunjuknya ke arah rakyat, yang dinilai belum memiliki kesiapan berdemokrasi. Sedangkan, rakyat menyangkalnya dengan melimpahkan segala kesalahan pada buta-tuli penguasa.
Perkataan bijak telontar dari ucapan Ali bin Abi Thalib, “Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya, dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, maka akan kuatlah kebenaran di antara mereka, dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”
Krisis sedalam dan seluas yang di alami bangsa Indonesia sekarang ini, dimana perbaikan prosedur serta popularitas pemimpin saja tidak cukup untuk menyelesaikannya. Indonesia harus menyelam lebih dalam menjangkau dimensi struktural dan spiritual dengan panduan kepemimpinan profetik.
Namun masalahnya, figur profetik itu tak hadir di sini. Partai politik, yang diharapkan menjadi tempat persemaian intelektual organik yang mampu mengorganisasikan dan mengartikulasikan amanat hati-nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan.
Civil society, yang mestinya menjadi pusat pembibitan para penjaga keadaban (societas civilis), berhenti sebagai arena perpanjangan dan perebutan proyek.
Bahkan, komunitas dan para pemimpin keagamaan, yang mestinya menjadi tumpuan terakhir dalam mengawal misi-misi profetik, berlomba menghancurkan dirinya sendiri lewat politisasi dan komersialisasi agama.
Dalam ketiadaan figur, harapan tinggal bertumpu pada penguatan otonomi individu. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Pada tahap ini, setiap individu harus memasuki fase “kenosis” (kekosongan). Suatu momen transenden untuk menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; membiarkan diri telanjang demi mencerap bahasa ummi (awam) untuk merasakan denyut terlemah dari kehidupan masyarakat agar mampu membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Ibadah puasa, merupakan suatu usaha pengosongan diri dari kekenyangan dan kejumudan, dengan mengajak setiap individu untuk berjarak dari tarikan rutinitas duniawi demi memulihkan realitas dunia.
Situasi pengosongan merupakan pangkal pemulihan adikrisis. Sebab tantangan terberat dalam situasi krisis tanpa kepemimpinan yang kuat adalah bagaimana menemukan basis spiritualitas yang mendorong ke arah penyehatan politik.
Dari momen transendensi, yang meluluhkan sekaligus memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan atau visi baru, ketegaran asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah satu.
Artikel ini ditulis oleh: