Jakarta, Aktual.com — Sejumlah lembaga keuangan Tiongkok seperti Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) dan China Development Bank (CDB) telah berkomitmen untuk memberikan pinjaman senilai total USD50 Miliar kepada pemerintah RI.
Pinjaman seharga Rp650 triliun (asumsi kurs USD: Rp13.000) tersebut rencananya akan digunakan untuk memuluskan sejumlah proyek yang diprogramkan Presiden Joko Widodo seperti pembangunan infrastruktur, moda transportasi hingga pembangkit listrik.
Dalam rapat kerja antara Komisi VI DPR dan Menteri BUMN Rini Soemarno di Gedung DPR, Senayan, Selasa (30/6) kemarin, Anggota Komisi VI DPR, Muhammad Haikal mempertanyakan terkait maksud pemerintah Tiongkok memberikan pinjaman sebesar itu kepada BUMN RI. Pasalnya, dengan utang sebesar itu, aset BUMN akan terancam diambil jika BUMN tidak sanggup membayar nantinya.
“Saya concern (perhatian) pinjaman Rp 650 triliun. Jangan sampai modus ambil alih BUMN, lewat utang kemudian aset dan saham. Kita default (gagal bayar utang) akan terambil, maka kita harus jeli amankan aset-aset kita,” ujar Anggota Komisi VI DPR, Muhammad Haikal, seperti ditulis Rabu (1/7).
Dikesempatan yang sama, Menteri BUMN Rini Soemarmo menanggapi pernyataan tersebut. Menteri Rini mengemukakan bahwa Presiden Jokowi telah memberi pesan kepada Presiden China, Xi Jinping agar menyediakan produk dan perusahaan kompeten untuk bekerjasama dengan BUMN di Indonesia.
“Dulu b to b (business to business) dengan kualitas BUMN bukan nomor 1 tapi nomor 3. Sekarang China tunjuk Bappenas di sana, lihat BUMN mereka yang world class dan masuk Fortune 500. BUMN terbaik, akan kerjasama,” kata Rini.
Lebih lanjut dikatakan Rini, pinjaman kali ini lebih bersifat komersial dengan skema jangka panjang.
“Nanti kerjasama b to b. Proses kredit seperti BUMN. Kita jaga pinjaman spesifik. Jangka waktu jangka panjang dengan suku bunga 2-3%,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof Chaniago ditempat berbeda.
Andrinof mengemukakan pinjaman Tiongkok ke BUMN RI tersebut bersifat perjanjian bisnis, dan negara tidak terlibat dalam proses negosiasi hingga penjaminan.
“Kalau itu mekanisme komersial dan di luar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” kata Andrinof di Kantor Pusat BAPPENAS, Jalan Taman Suropati, Jakarta, Selasa (30/6).
Lebih lanjut dijelaskan dia, pembiayaan oleh swasta tanpa dukungan APBN justru membantu percepatan pembangunan nasional, seperti komitmen China membiayai proyek kereta cepat rute Jakarta-Bandung. Alasannya Pemerintah tidak mampu membiayai 100% proyek dari dana APBN.
“Kalau proyek disediakan oleh swasta. Pemerintah nggak keluar uang. Kalau itu nggak ada masalah, syarat lain cuma faktor lingkungan. Kalau umpamanya swasta mengembangkan rute transportasi. Pemerintah tinggal konsentrasi di luar Jawa,” ujarnya.
Andrinof juga menyebut ada sejumlah negara donor dikawasan Asia dan Eropa yang bersedia membantu pembiayaan dengan melibatkan skema kerjasama antar negara. Untuk hal ini, kata dia, pemerintah masih mengkaji tawaran dari negara mana yang memberikan bunga terendah dan jangka waktu panjang.
“Sudah ada tawaran yang masuk cuma kita tinggal menentukan mana tawaran bunga yang termurah. Ada dari negara Eropa, Asia ada Korea Selatan, Jepang, China. Terus kita jajaki negara Timur Tengah seperti Qatar, Quwait, dan Saudi Arabia,” ujarnya.
Artikel ini ditulis oleh: