Minahasa, Aktual.com — Di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, masih terdapat beberapa batu dari zaman megalitikum yang berbentuk menhir atau batu tunggal yang berdiri tegak.
“Batu-batu tersebut oleh masyarakat setempat disebut Watu Pasak Wanua,” kata Jemmy Kandouw, tokoh masyarakat Minahasa Tenggara, di Ratahan, Sabtu (11/7).
Berdasarkan cerita rakyat turun-temurun, kata Jemmy, batu itu adalah tempat penanda berdirinya sebuah desa di Minahasa Tenggara pada tempo dulu.
Ia menerangkan beberapa batu tersebut untuk tempat ritual adat dalam suatu desa dalam mengambil suatu keputusan.
Akan tetapi, kata dia, sekarang Watu Pasak Wanua lebih berfungsi sebagai tempat pelaksanaan upacara desa, seperti ulang tahun desa yang pelaksanaannya hampir setiap tahun oleh sejumlah desa.
Berdasarkan cerita tempo dulu, pendirian batu tegak yang kemudian disebut menhir ini sering kali dilakukan oleh masyarakat prasejarah menjadi penanda batas desa.
“Berdasarkan hasil beberapa penelitian arkeologi dan antropologi, menhir berfungsi sebagai batas desa atau kampung, media pemujaan dalam sebuah ritual bahkan menjadi penanda sebuah kampung,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, berdasarkan cerita-cerita di tengah masyarakat, ketika penancapan watu pasak yang dilakukan oleh tokoh masyarakat, jika terdengar suara burung manguni atau sering disebut masyarakat burung manguni, lokasi tersebut baik untuk dijadikan sebuah desa.
Dalam perkembangannya kemudian, kata Jemmy, mitos tentang masyarakat etnis Tonsawang yang menghuni sebagian wilayah Minahasa Tenggara, dianggap sebagai batas imajiner terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat merusak tatanan masyarakat.
“Jika kampung tersebut diserang dari luar, pihak penyerang akan tertahan di lintasan tanah yang menghubungkan Pasak Wanua tersebut,” ungkapnya.
Ia menyebutkan beberapa tempat yang memiliki batu itu, antara lain di Ibu Kota Kabupaten Minahasa Tenggara, Ratahan, seperti di Kelurahan Lowu, Wawali, dan Kelurahan Nataan.
Artikel ini ditulis oleh: