Staf Khusus Presiden RI Lenis Kogoya (tengah) memberikan keterangan kepada sejumlah awak media di  Gedung Sekretariat Negara Sayap Timur, Jl Veteran III, Jakarta Pusat, Sabtu (18/7/2015). Lenis Kogoya menerangkan terkait peristiwa pembakaran Mushala yang terjadi di Torikara, Papua, Atas nama Presiden RI Kagoya menyampaikan permohonan maaf atas musibah tersebut dan memohon untuk tidak membesar-besarkan karena telah diselesaikan dengan kepala adat.

Jakarta, Aktual.com — Staf Khusus Presiden Republik Indonesia perwakilan Papua, Lenis Kogoya menjelaskan kronologis sementara terjadinya pembakaran masjid di Kabupaten Tolikara, Papua.

Dikatakan Lenis, berawal dari adanya konggres pemuda Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang terganggu karena pengeras suara dari masjid  yang sedang merayakan sholat Iedul Fitri di Kabupaten Tolikara. Dalam acara konggres pemuda dan masjid disampaikan Lenis memang lokasinya berdekatan.

“Jadi ada kongres GIDI pemuda lalu bersamaan mesjid juga dekat. jadi didengarlah, Sinode yang lagi kongres. Karena merasa terganggu jadi terjadilah. Ini yang terjadi,” ujar Lenis di kantor Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Sabtu (18/7)

Terkait adanya insiden tersebut, Ketua kepala suku pun mempertanyakan Pemeritah Daerah (Pemda) setempat yang memberikan ijin konggres pada tanggal yang bertepatan dengan agenda kalender Nasional.

“Seharusnya tokoh agama duduk bersama difasilitasi. Supaya tidak terjadi masalah. Kedua, tanggal 17 itu kan agenda nasional maka dalam menentukan tanggal harus dilihat kalender nasionalnya, agar tidak berbenturan,” ungkapnya.

Dia menuturkan pada tanggal 17 kemarin yang bertepatan dengan hari raya Iedul Fitri ataupun tanggal 25 Desember yang bertepatan dengan hari raya Natal seharusnya tidak boleh ada kegiatan apapun mengingat pada tanggal tersebut adalah agenda Nasional.

“Perlu ditanytakan ke Pemda dan Kapolres. Mengizinkan masuk atau tidak, termasuk bupati, apakah pernah dibicarakan masalah ini, soal kalender ini. Ini yang penting. Kalau itu tangal 17, atau 25 Desember itu hari nasional, maka tidak boleh ada kegiatan itu. Meski di pedalaman. Kasih kesempatan mereka ibadah, berdoa. Begitu juga bagi yang nasrani. Saling menghormati, menghargai,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka