Jakarta, Aktual.com — Sebelum munculnya kesadaran tentang pentingnya moda transportasi massal bagi seluruh penduduk, sejumlah pejabat kerap berkelit dengan mengatakan bahwa kemacetan di jalan raya adalah indikasi dari meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat.
Dalam pola pikir seperti itu, maka logika yang ada di dalam otak pembuat kebijakan seperti itu adalah kemacetan karena semakin banyak kendaraan. Hal itu berarti semakin banyak orang yang bisa membeli mobil atau motor.
Maka, bila semakin banyak orang yang bisa membeli mobil atau motor, bukankah berarti bahwa semakin banyak pula orang yang kaya karena berarti memiliki kemampuan untuk memiliki kendaraan pribadi? Sayangnya, pemikiran seperti itu hanyalah jangka pendek, karena tidak berpikir bahwa bisa saja orang yang membeli mobil atau motor itu mendapatkan kendaraanya secara berhutang, yang berarti tidak mengukur secara tepat kemampuan finansial pribadi orang tersebut.
Selain itu, dengan munculnya kemacetan dalam periode yang panjang juga akan memicu beragam bom waktu permasalahan, seperti semakin borosnya biaya BBM yang terbuang (yang masih disubsidi), semakin banyak muncul polusi udara (karena semakin banyak kendaraan), hingga memicu stres yang otomatis juga menurunkan tingkat kualitas hidup.
Kota Jakarta sendiri, ibu kota dari Republik Indonesia, juga kerap mendapat sorotan dari dunia internasional akan kemacetan yang kerap melanda jalan raya di kota yang telah berusia 488 tahun itu.
Sebenarnya berbagai perbaikan dan pembenahan telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang secara signifikan dimulai sejak era Gubernur Sutiyoso yang mendobrak dengan membangun Transjakarta, atau lebih dikenal di masyarakat luas dengan sebutan busway.
Meski dengan segala kekurangannya, Transjakarta atau busway telah menjadi salah satu transportasi favorit dari masyarakat ibu kota.
Namun lagi-lagi, berbagai permasalahan seperti jumlah armada Transjakarta yang kurang atau beberapa kali terbakar, hingga kendaraan pribadi yang membajak jalur busway, juga masih terjadi di sana-sini.
PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) sendiri telah bertekad untuk segera memenuhi layanan sesuai Standar Pelayanan Minimum (SPM) transportasi massal bus Transjakarta dalam waktu dekat.
“Dalam waktu dekat ini, kami optimis akan mampu memenuhi target pelayanan bus Transjakarta kepada masyarakat, sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan,” kata Direktur Utama PT Transjakarta Antonius Kosasih di Jakarta, Jumat (10/7) lalu.
Dalam rangka memenuhi SPM tersebut, dia mengungkapkan pihaknya akan segera mendapatkan 51 armada bus Transjakarta bermerek Scania asal Swedia dalam waktu dekat, serta 100 armada bus baru lainnya.
“Selain itu, seiring dengan datangnya armada-armada bus yang baru, kita juga akan menghentikan operasional bus Transjakarta yang usianya sudah terlalu tua dan tidak layak beroperasi lagi,” ungkap Kosasih.
Dengan demikian, dia menambahkan, diharapkan pelayanan Transjakarta kepada masyarakat akan sesuai dengan SPM yang telah ditetapkan.
Sebenarnya sederet Menteri Perhubungan seperti Evert Erenst Mangindaan (Menhub pada zaman Kabinet Indonesia Bersatu II) telah menegaskan bahwa pemerintah bakal membuat kebijakan yang mendorong percepatan penerapan pengalihan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal.
Hal itu dilakukan antara lain dengan mengembangkan Bus Rapit Transit (BRT) seperti Transjakarta atau busway di berbagai kota utama di Tanah Air.
Kementerian Perhubungan juga telah memiliki Rencana Strategis Transportasi Nasional Tahun 2015-2019 untuk terus fokus mewujudkan intergrasi multimoda perhubungan.
Integrasi antarmoda adalah menghubungkan berbagai jenis moda transportasi untuk mempermudah pergerakan orang atau barang dengan perpindahan yang efektif dan efisien.
Selain Transjakarta yang dibangun sejak era Sutiyoso, terdapat lagi gebrakan lainnya yaitu Mass Rapid Transit (MRT) yang peresmian pembangunannya telah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (sekarang telah menjabat sebagai Presiden RI).
Banyak warga ibu kota yang berharap agar pembangunan MRT dapat segera direalisasikan, agar Jakarta seperti halnya berbagai negara lain juga bisa memiliki moda transportasi massal urban yang tidak menyumbang kepada kemacetan (karena tidak dibangun sebidang dengan jalan raya).
Mungkinkah? Namun tentu saja hal itu juga memunculkan pertanyaan, bila telah ada moda transportasi massal seperti MRT, apakah wacana kota tanpa mobil menjadi tidak relevan? Jawabannya adalah program kota tanpa mobil akan tetap menjadi relevan. Secara gamblang tentu saja untuk mengatasi beragam permasalahan lainnya seperti pemborosan penggunaan bahan bakar, polusi, hingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat ibu kota.
Tentu saja merupakan sesuatu hal yang naif bila masyarakat berpikir bahwa dengan hanya mendirikan MRT maka akan menjadi satu-satunya obat mujarab bagi permasalahan kepadatan jalan raya di Jakarta.
Berdasarkan informasi dari laman www.fastcoexist.com, terdapat tujuh kota besar di dunia (umumnya di Eropa) yang telah memulai langkah-langkah menuju ke arah kota tanpa kendaraan pribadi.
Laman itu menyebutkan antara lain banyak pengelola kota yang menyadari bahwa kendaraan pribadi saat ini sudah tidak masuk akal lagi dalam konteks kehidupan urban yang sehat.
Selain karena asap dan kemacetan di jalan raya, kendaraan pribadi dinilai bukanlah cara yang nyaman untuk mencapai suatu posisi di perkotaan.
Sejumlah kota tersebut adalah Madrid (Spanyol) yang telah memperluas kebijakan zona tanpa mobil, di mana siapapun orang yang tidak tinggal di sekitar kawasan tersebut tetapi mengendarai mobil akan didenda setara dengan lebih dari 100 dolar AS.
Sementara itu, di kota Paris (Prancis), orang yang tidak tinggal di pusat kota tidak bisa berkendara di akhir pekan, dan kabarnya kebijakan tersebut akan diperpanjang hingga sepanjang Minggu.
Sedangkan di Helsinki (Finlandia), pemerintah setempat membangun jasa layanan mobilitas untuk menjalani hidup tanpa kendaraan pribadi, yaitu dengan membuat program digital sehingga warga mudah mendapatkan tumpangan bersama, atau taksi, atau menemukan halte bus/stasiun kereta terdekat.
Selain itu di Milan (Italia), dibuat kebijakan bahwa bila komuter (orang yang tinggal di luar kota tetapi bekerja di dalam kota) meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah, maka mereka bakal mendapatkan voucher transportasi publik cuma-cuma.
Di Kopenhagen (Denmark), pemerintah setempat memperkenalkan zona pedestrian (khusus untuk pejalan kaki) pada tahun 1960-an di pusat kota, dan zona tanpa mobil itu terus menyebar hingga beberapa dekade selanjutnya.
Saat ini, Kopenhagen menjadi kota dengan tingkat kepemilikan mobil terendah di Benua Eropa.
Namun, laman tersebut juga menyadari bahwa tidak ada kota itu yang berencana untuk benar-benar bebas tanpa kendaraan pribadi, tetapi berbagai hal tersebut menunjukkan bahwa akhirnya perencana kota sadar bahwa jalanan diciptakan untuk mobilisasi orang, bukan untuk kendaraan.
Di Jakarta sendiri, pedestrian atau pejalan kaki kerap “teraniaya” karena tempatnya untuk berjalan kaki telah diokupasi baik oleh mobil pribadi yang parkir sembarangan menutup ruang jalan warga, atau motor yang tanpa bersalah melaju di trotoar, atau pedagang kaki lima yang berjualan.
Untuk itu, meski hanya berupa cita-cita, diharapkan suatu saat Jakarta akan dapat menjadi kota yang humanis dengan transportasi massal yang telah terintegrasi dengan baik, aman, dan nyaman, serta tentu saja tanpa mobil/motor.
Artikel ini ditulis oleh: