Sejumlah Warga mengumpulkan sisa serpihan peristwa pembakaran terhadap toko, ruko yang berimbas ke tempat ibadah umat muslim di Tolikara, Papua, Kamis (23/7/2015). Tokoh masyarakat dan pemuka agama serta tokoh adat sepakat berdamai dan tidak akan mengulang peristiwa tersebut.

Jakarta, Aktual.com – Konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan berkaitan dengan umat beragama tidak sepenuhnya mengenai agama, kata Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Zainal Abidin Bagir.

“Konflik agama tidaklah sepenuhnya mengenai agama. Dalam laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) mengenai Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, semua konflik keagamaan yang dibahas menunjukkan ciri itu, misalnya bertemunya kepentingan politik lokal dengan (manipulasi) simbol keagamaan,” katanya di Yogyakarta, Kamis (23/7).

Menurut dia, setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan berkaitan dengan umat beragama, hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa setiap konflik tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal. Setiap konflik biasanya memiliki banyak penyebab.

“Dalam kasus di Tolikara, Papua, konteks penting adalah kompleksitas dan kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan itu seperti bisa dilihat dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, sering direspons oleh aparat keamanan secara represif,” katanya.

Secara lebih khusus, kata dia, Kabupaten Tolikara cukup rawan politik seperti tampak dalam konflik terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Februari 2015.

“Kondisi itu menbuat hal remeh seperti soal ‘speaker’ bisa dengan mudah meletuskan konflik kekerasan, bahkan merenggut korban jiwa,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: