Jakarta, Aktual.com — Pemerintah dinilai perlu melindungi pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dari aksi sewenang-wenang Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino.
Hal ini terkait upaya konstruktif membongkar dugaan pelanggaran undang-undang dan kerugian negara dalam perpanjangan konsesi di pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia tersebut oleh Pelindo II kepada Hutchison Port Holdings (HPH).
“Ada beberapa preseden besar tindakan arogan dari Dirut Pelindo II. Tahun 2011 Lino memecat Direktur Keuangan Pelindo II Dian M Noer yang menolak pembayaran pembelian alat bongkar muat HDHM dari China dengan mekanisme penunjukkan langsung. Hal ini dilanjutkan 2 tahun lalu saat Lino memecat 33 pegawai setingkat Senior Manager dan Manager karena mengkritik soal pembelian crane bermasalah. Puncaknya saat Lino memecat Direktur Personalia Pelindo II Cipto Pramono dan memberitahu hanya lewat sms ke Pak Dahlan (Menteri BUMN),” kata Ketua Serikat Pekerja PT JICT Nova Hakim, di Jakarta, Jumat (24/7).
Dijelaskan, saat ini RJ Lino sedang melakukan upaya intimidasi lain dengan mengubah struktur organisasi dan menagihkan biaya sewa sesuai dengan perjanjian konsesi JICT yang baru.
“Ini bentuk arogansi dan intimidasi yang luar biasa. Prosesnya langgar UU dan Menteri BUMN belum setuju serta prosesnya lewar lelang tertutup sehingga negara potensi rugi. Sekarang Lino sudah mengganti struktur organisasi JICT dan juga meminta pembayaran segera atas uang sewa dengan skema perjanjian perpanjangan JICT yang baru. Baik Pelindo II dan HPH patut diduga bersekongkol untuk melawan UU dan pemerintah,” tegas Nova.
Terhitung sejak upaya penolakan pekerja soal perpanjangan JICT ke asing, Dirut Pelindo II telah melakukan beberapa aksi intimidasi kepada karyawan JICT. Tahun lalu 250 orang diangkat menjadi pegawai operator alat di JICT sebagai upaya antisipasi mogok pekerja yang dihembuskan sendiri oleh Lino.
“Mogok ini tidak pernah ada. Kami selalu mengedepankan pelayanan dan pendekatan konstruktif terhadap setiap pelanggaran baik oleh manajemen maupun pemegang saham,” ujar Nova.
Sementara, Federasi Serikat Pekerja Transport Internasional atau ITF (International Transport Workers Federation) siap memberikan dukungan solidaritas internasional kepada Pekerja JICT dalam upaya menolak perpanjangan konsesi pengelolaan terminal peti kemas paling efisien di Indonesia kepada pihak asing.
“Solidaritas secara besar-besaran itu untuk melindungi pekerja dari tindakan negatif kepada serikat pekerja JICT yang dilakukan oleh pihak perusahaan,” kata Ketua ITF Asia Pasifik, Hanafi Rustandi.
Presiden Indonesia Port Watch, Syaiful Hasan juga menyebut beberapa upaya pengkerdilan peran objektif pekerja JICT juga dilakukan lewat giringan opini pengamat bayaran.
“Saya miris lihat pengamat ini. Sebelumnya bilang anak bangsa tidak mampu kelola. Sekarang bilang mampu. Lalu bilang lagi peran operator global penting untuk bawa pelayaran asing. Perusahaan Pelayaran itu ada kalau kargonya ada. Memang kargo itu yang adakan operator pelabuhan. Selama ada pola perdagangan antar negara selama itu pula kapal akan berkunjung ke pelabuhan. Dari skala ekonomi juga Perusahaan Pelayaran akan berpikir biaya dan keuntungan dari kargo yang diangkut,” tegas Syaiful.
Nova menambahkan, saat ini banyak pihak yang sudah terbuka mengakui bahwa proses perpanjangan konsesi JICT serba janggal. Seruan penolakan perpanjangan JICT yang melanggar UU dan merugikan Indonesia juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan, anggota DPR dan DPD serta beberapa asosiasi.
Artikel ini ditulis oleh: