Sidang lanjutan gugatan praperadilan yang diajukan bekas Menteri BUMN Dahlan Iskan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (30/7).

Dalam sidang kali ini, tersangka dugaan korupsi pengadaan 21 gardu induk itu mengajukan 3 saksi ahli. Mereka adalah pakar hukum pidana yakni Mudzakir dari Universitas Islam Indonesia (UII), Chaerul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan Made Widyatna dari Universitas Airlangga.

Sidang lanjutan prapradilan ini berjalan dengan sengit terdapat perdebatan antara saksi ahli dengan tim penyidik dari Kejati DKI Jakarta.

Saksi Made Widyatna mengatakan, penyidik seharusnya terlebih dulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk mencari alat bukti guna menetapkan seseorang sebagai tersangka.

“Artinya, Sprindik harus keluar terlebih dahulu, baru kemudian penyidikan dilakukan untuk mencari alat bukti dalam menetapkan tersangka Secara teoritis, proses hukum acara ini adalah prosedural,” ujar Made dalam persidangan.

Selanjutnya, Made menjelaskan, sesuai terminologi, penyidikan harus merujuk pada Pasal 1 ayat (2) KUHAP yang menyatakan, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan alat bukti.

Bukti-bukti tersebut lanjut Made, nantinya untuk mencari orang yang bertanggungjawab dalam sebuah kasus dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Made juga menjelaskan yang dimaksud dengan keterangan saksi. Menurutnya keterangkan saksi itu bukan semua saksi yang memberikan keterangan namun ada kriteria menurut KUHAP yaitu orang yang mengalami dan memahami. “Jadi tidak semua saksi bernilai jadi bukti, harus dilihat dulu,” katanya.

Selain itu, Made juga mengatakan bahawa dalam menentukan kerugian negara harus merujuk pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Dalam menghitung kerugian negara, BPK itu yang paling berwenang untuk dimintai laporannya,” sambungnya.

Kemudian Made juga menjawab pertanyaan yang diajukan salah satu kuasa hukum Dahlan Iskan Pieter Talaway. Pieter mempertanyakan keabsahan penetapan seseorang sebagai tersangka apabila penyidik tidak mengikuti proses hukum yang ditentukan dalam KHUAP. “Kalau tidak dilakukan secara proses hukum, maka (penyidikan) dianggap tidak sah,” jawabnya.

Namun hal ini dibantah oleh tim hukum Kejati DKI Jakarta, Bonaparte Marbun. Ia juga mempertanyakan keabsahan proses pemeriksaan saksi dan penggeledahan jika di dalam surat perintah penyidikan tidak disebutkan untuk tujuan dan kasus apa hal itu dilakukan.

“Apakah sah, melakukan pemeriksaan saksi dan penggeledahan, sementara tidak jelas di dalam sprindik itu siapa tersangkanya?” tanya Bonaparte.

Terkait yang berwenang menghitung kerugian negara, Bonaparte menegaskan bahwa adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan selain BPK, penyidik, BPKP, maupun tim ahli bisa menghitung kerugian negara.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby