Jakarta, Aktual.com — Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan mengatur pengoperasian pesawat tanpa awak atau “drone” melalui Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 untuk meningkatkan keselamatan penerbangan.
Direktur Navigasi Penerbangan Kemenhub Novie Rianto dalam sosialisasi Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang dilayani di Indonesia mengatakan pesawat tanpa awak tersebut, meliputi “Unmanned Aerial Vehicle” (UAV), “Drone” dan “Remotely Piloted Aircraft System (RPAS).
Novie menambahkan peraturan tersebut berlaku bagi operator baik dengan tujuan ilmu pengetahuan, survei pemetaan, pertanian, jurnalistik, hobi (foto udara atau video) dan militer.
Dia menjelaskan pesawat tanpa awak tersebut tidak boleh dioperasikan pada kawasan, yakni kawasan udara terlarang (prohibited area), kawasab udara terbatas (restricted area) dan kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) suatu bandar udara.
“Contohnya, di atas kilang minyak dan di sekolah penerbangan Curug, itu tidak boleh,” katanya di Jakarta, seperti diberitakan Rabu (5/8) .
Selain itu, dia mengatakan pesawat tanpa awak tidak boleh dioperasikan di ruang udara terkendali (controlled airspace), seperti area lepas landas dan mendarat pesawat, circling area dan jalur penerbangan.
“Untuk ‘uncontrolled area’, ketinggian dibatasi hingga 500 kaki atau 150 meter),” katanya.
Namun, lanjut dia, untuk kepentingan pemerintah bisa dioperasikan di ketinggian lebih dari 500 kaki dengan izin yang diberikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara, seperti patroli batas wilayah negara, patroli wilayah laut negara, pengamatan cuaca, pengamatan aktivitas hewan dan tumbuhan di taman nasional dan lain-lain.
Terkait permohonan izin, lanjut dia, diajukan kepada Ditjen Perhubungan Udara dilakukan selambat-lambatnya 14 hari kerja sebelum pelaksanaan pengoperasian sistem pesawat udara tanpa awak.
Permohonan izin tersebut harus menyampaikan informasi sistem pesawat udara tanpa awak, seperti nama dan kontak operator, spesifikasi teknis “airborne system”, spesifikasi teknis “ground system”, maksud dan tujuan pengoperasian, rencana terbang (flight plan), prosedur kondisi darurat (kegagalan komunikasi operator dengan pemandu lalu lintas udara atau pemandu komunikasi penerbangan dan kegagalan komunikasi antara “ground system” dan “airborne system”.
Selain itu, dokumentasi asuransi, prosedur pengoperasian (remote control operation) dan kompetensi dan pengalaman pilot remot kendali.
Sementara itu, rencana terbang atau (flight plan) sendiri, harus meliputi identifikasi pesawat, kaidah penerbangan, peralatan yang dibawa (kamera, sprayer, crank), titik lepas landas, prakiraan waktu operasi, kecepatan terbang, ketinggian terbang dan rute penerbangan.
Selanjutnya, bandar udara atau titik pendaratan, titik alternatif, ketahanan baterai atau bahan bakar dan jangkauan jelajah serta area manuver pengoperasian.
“Peraturan ini direvisi hingga September 2015,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: