Jakarta, Aktual.com — Direktur Centre For Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Disan Budi Santoso mengingatkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM untuk lebih selektif memberikan masa relaksasi pada perusahaan tambang.

Menurutnya, relaksasi ekspor mineral mentah maupun pengolahan seharusnya hanya diberikan kepada perusahaan tambang yang serius membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri (smelter).

“Relaksasi yang diberikan pemerintah harus dilakukan secara ketat. Pemerintah harus serius mengawasi pembangunan smelter, kalau tidak serius maka relaksasi harus dihentikan,” kata Disan Budi di Jakarta, Jumat (7/8).

Perlu diketahui, kewajiban hilirisasi pertambangan tercantum dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam UU itu menyebutkan lima tahun sejak diundangkan atau jatuh tepat pada 2014, hanya mineral hasil pemurnian yang diizinkan pemerintah untuk diekspor, bukan lagi bahan mentah. Namun, Pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono, justru memberi relaksasi kepada para perusahaan tambang hingga 2017 lantaran belum semua smelter siap beroperasi di 2014.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menegaskan bahwa hilirisasi mineral pada 2017 mendatang wajib hukumnya untuk diterapkan. Hal itu sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam kebijakan peningkatan nilai tambah mineral, terlebih gaung hilirisasi mineral ini tengah menjadi sorotan dunia internasional.

“Makanya kami wanti-wanti hilirisasi jangan berubah supaya dunia melihat Indonesia serius. Dari 2014 mundur jadi 2017, jangan sampai itu mundur lagi,” ucapnya.

Menurutnya, persoalan hilirisasi ini sebaiknya tertuang dalam revisi Undang-Undang No.4 Tahun 2009. Dengan begitu maka pemerintah punya kekuatan hukum dan memberi kepastian usaha.

“Kalau kemudian dalam revisi itu ada perubahan soal perpanjangan usaha, yah silahkan. Tapi soal hilirisasi harga mati di 2017,” tegas dia.

Artikel ini ditulis oleh: