Jakarta, Aktual.com — Sikap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mendukung mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) menuai kritikan tajam. Pasalnya, dukungan Kemenkeu itu tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 Tahun 2013 tanggal 10 Desember 2013. Surat itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengatakan dukungan itu belum berubah sampai kini.

Budayawan Mohammad Sobary menilai dukungan Kemenkeu itu tidak lepas dari intervensi pihak asing. Ia menduga, sikap Kemenkeu itu karena sudah ada ‘upah’ asing. Sobary prihatin dengan dukungan tersebut karena sejatinya membahayakan petani tembakau. Kemenkeu sama saja dengan Kementerian Kesehatan. Mereka punya kepentingan untuk mendukung bangsa asing.

“Mustahil kalau tidak dapat upah. Mereka tidak punya semangat membesarkan bangsanya sendiri,” tegas Sobary, saat dihubungi wartawan, Jumat (7/8).

Dirinya mengingatkan, asing saat ini berkepentingan untuk mencaplok bisnis kretek dalam negeri yang besar. Ia mengingatkan, FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing. Dan kalau didalami, FCTC tak lebih adalah praktek dagang tidak sehat ketimbang mengusung isu kesehatan.

“Sejauh menyangkut kepentingan asing, pemerintah, baik di era SBY dan pemerintah sekarang, siap membungkuk. Merasa didukung Amerika. Kepada bangsa sendiri dan petani tembakau saja pemerintah tidak sikap melindungi. PP Nomor 109 menunjukkan pemerintah sudah menjilat asing,” tandas Sobary.

Menurutnya, ketika argumen demi kesehatan masyarakat itu tidak manjur, digantilah argumen ekonomi bahwa merokok itu pemborosan. Argumen ekonomi ini pun tak begitu berpengaruh. Tetapi pelobi asing dibantu aparat pemerintah dari pusat hingga ke daerah-daerah, kaum profesional, para dokter, kaum aktivis, dan seniman dengan penuh semangat menelan argumentasi ini tanpa mau berpikir kritis atas argumentasi tersebut. “Semua menjilat asing,” tandas Sobary.

Dihubungi terpisah, pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengingatkan, dukungan Kemenkeu terhadap FCTC sama saja melampaui sikap Presiden Jokowi yang sampai saat ini belum memberi dukungan.

“Secara ketatanegaraan, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini, termasuk dan tidak terbatas pada pembahasan apalagi pelembagaan aksesi sepanjang tidak ada directive dari Presiden,” tandas Margarito.

Bila Kemenkeu terus membandel, menurut Margarito, Presiden harus menegur dan memberi peringatan agar tidak mengeluarkan aturan yang melewati kewenangan. “Bila Kemenkeu terus membandel, menurut saya, Presiden harus menindak Menteri Keuangan. Karena sebagai pembantu Presiden, Menkeu tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden,” tandas Margarito.

Pihaknya mengingatkan pemerintah jangan gegabah meratifikasi FCTC harus dilakukan hati-hati. Ia menegaskan, ratifikasi sudah pasti dipenuhi kepentingan asing dan merugikan industri dan petani dalam negeri.

“Pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional. Jika masing-masing pejabat pemerintah berbeda pendapat soal FCTC, masyarakat menilai pemerintah tidak solid alias tidak kompak,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka