Jakarta, Aktual.com — Wacana penerapan hukuman mati bagi pembunuh, bandar narkoba dan koruptor yang disuarakan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-33 terus dibahas. Sebagian pihak menilai, rekomendasi dari NU, terkait hukuman mati bagi koruptor perlu didukung.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Tony Tribagus Spontana menjelaskan, ancaman hukuman mati bagi koruptor memang tertuang dalam Undang-undang (UU) pemberantasan korupsi. Namun sebagai penegak hukum, Kejaksaan hanya sekadar mendukung apa yang terbaik sesuai kebutuhan masyarakat.
“Sebagai wacana, silakan saja persoalan ini berkembang. Nanti kita lihat saja bagaimana tanggapan masyarakat, dan aparat penegak hukum. Kita akan cermati perkembangannya,” kata Tony di Jakarta, Jumat (7/8).
Menurut dia, penerapan hukuman mati bagi koruptor harus memenuhi syarat-syarat, semisal dalam kondisi tertentu. Dalam hal ini keputusan ada di tangah pemerintah, apakah akan mengkaji persoalan tersebut atau tidak.
“Karena, sampai hari ini belum pernah ada satu pun pengadilan memvonis hukuman mati kepada koruptor,” ujarnya.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berpandangan, ancaman hukuman untuk kejahatan korupsi harus diperberat. Di Indonesia, kata dia, hukuman mati bagi terpidana korupsi harus dalam kondisi tertentu, semisal berkaitan dengan bantuan bencana alam atau kondisi kritis lainnya.
“Termasuk unsur pemberat yang bisa dijadikan alasan koruptor bisa dihukum mati. Tapi semua yang memutuskan pengadilan,” kata Prasetyo.
Komisi Bahtsul Masa’il Waqi’iyah dalam Muktamar ke-33 NU sepakat atas penerapan hukuman mati. Ancaman hukuman mati dianggap layak diberikan untuk pelaku pembunuhan, produsen, pemasok, pengedar narkoba, perampok, dan koruptor.
Sebelum dibahas dalam muktamar, puluhan ulama NU telah melakukan pertemuan di Yogyakarta menyusun usulan pemberantasan tindak pidana korupsi. Mereka merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor, karena dianggap layak sesuai perbuatannya yang menimbulkan dampak kerugian negara luar biasa.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu