Jakarta, Aktual.com — Mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Abdullah Makhmud Hendropriyono angkat bicara soal penerapan pasal penghinaan terhadap presiden yang diusulkan pemerintah masuk dalam Rancangan Undang-undang.

Ia menegaskan, bahwa hukum harus dapat menyelesaikan persoalan penghinaan kepada negara, sekaligus kepala pemerintahan sehingga dapat menjaga kewibawaan seorang pemimpin bangsa.

“Siapa saja kalau dihina, hukum tidak tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero yang bilang begitu. Hukum harus bisa menyelesaikan itu,” ujar Hendropriyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (7/8).

Cicero yang dimaksud Hendropriyono adalah seorang filsuf dan negarawan Romawi kuno yakni, Marcus Tullius Cicero. Selain itu ia juga dianggap sebagai ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa.

Menurut Hendro, jika seseorang dihina orang lain maka yang menghina tersebut harus dihukum. “Kalau tidak saudara pukul orangnya, kan jadi masalah,” cetusnya.

Lebih jauh ia mengatakan, di seluruh dunia juga ada hukuman bagi seseorang atau kelompok tertentu yang menghina presiden. Yang jelas ada pasal yang mengatur tentang hal itu.

“Kalau menurut saya, menghina presiden salah dong. Masa dipilih sendiri, begitu dipilih dan disuruh memimpin malah dihina-hina,” ujarnya.

Mengkritik itu, lanjut Hendro, beda dengan menghina. Dia mencontohkan, kalau melakukan kesalahan lalu dikritik itu tidak masalah.

“Tapi kalau (ngomong) eh lu presiden bangsat lu, itu menghina,” tutur mantan Menteri Transmigrasi dan Perambahan Hutan dalam Kabinet Pembangunan VII serta Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi itu.

Sebab itu, Ia menambahkan, dalam menanggapi sesuatu jangan emosional. Perlu pikiran yang tenang. “Dalam praktik saja kita lihat, masa orang maki-maki presiden kita biarkan? Ya tidak boleh dong. Kalau kritikan, biarkan saja,” ungkap Hendro.

Seperti diketahui, pemerintah mengajukan 786 pasal di RUU KUHP kepada DPR. Termasuk pasal yang mengatur hukuman untuk penghinaan presiden dan wakil presiden.

Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.

Hal ini dipertegas lagi pada pasal 264, yang berbunyi “”Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Sebelumnya, pada 2006 pasal ini sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby