Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Jusuf Kalla (kedua kiri) memimpin rapat terbatas membahas proyek galangan kapal di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/6). Presiden menginstruksikan untuk mengembangkan industri galangan kapal atau area pabrik pembuatan kapal laut di dalam negeri yang mampu memproduksi kapal tanker, kargo, kapal penumpang, feri, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/kye/15

Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengkritisi langkah Pemerintah yang kembali membuka izin ekspor mineral mentah PT Freeport Indonesia. Padahal, Freeport sendiri hingga saat ini masih juga belum menunjukan perkembangan yang signifikan terkait pembangunan pabrik pemurnian atau Smelter. Hingga akhir Juli 2015 lalu, Freeport baru menunjukan perkembangan pembangunan Smelter sebesar 11 persen.

Alasan Kementerian ESDM menerbitkan surat rekomendasi ekspor lantaran perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu, dinilai telah memenuhi seluruh persyaratan yang dibutuhkan. Satu diantaranya kemajuan proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral mentah (smelter) tembaga yang akan dibuat Freeport di Gresik, Jawa Timur, yang kini perkembangannya diklaim telah mencapai 11 persen.

“Memang pemerintah itu berlindung di balik peraturan yang tidak jelas ukurannya. Dalam arti bahwa, oh ini (Freeport) investasinya sudah 11,5 persen, sementara (secara regulasi) kalau untuk yang 5 sampai 30 persen itu bea keluarnya hanya 5 persen. Nanti kalau di atas 30 persen itu nol bea keluarnya. Ini peraturan yang tidak tegas,” kata Marwan kepada Aktual di Jakarta, Minggu (9/8).

Menurutnya, Pemerintah sendiri tidak memiliki ukuran yang tegas soal perkembangan investasi smelter. Tidak ada tuntutan berapakah perkembangan yang harus dicapai perusahaan tambang setiap 6 bulan atau 1 tahunnya.

“Karena kalau mau mengukur bahwa smelter itu harus terbangun 2017, itu kan harus realistis, kalau memang 2017 harus ada, artinya tahun sekarang ini sudah berapa persen? Itu ga ada ukurannya. Masih tanah aja belum jelas. Belom di bayar misalnya. Anda yakin ga itu akan terbangun? Itulah saya sebut peraturan itu di buat fleksibel untuk mengakomodasi kepentingan Freeport,” ungkapnya.

Diakuinya, aturan yang diterapkan pemerintah ini memang peninggalan dari era Pemerintahan Presiden SBY. Namun, jika memang ingin lebih baik, Presiden Jokowi seharusnya bisa memutuskan untuk memperbaiki aturan itu.

“Kenapa tidak dikoreksi lebih baik oleh Jokowi? Ternyata kok Jokowi juga tidak berani,” ucapnya.

“Saya menganggap itu sudahlah sangat fleksibel juga sangat mengakomodasi kepentingan Freeport,” tandas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby