Jakarta, Aktual.com — Salah satu tokoh yang ikut menyumbang jasa Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah Sayuti Melik. Kebanyakan orang mengenal Sayuti Melik karena jasa beliau dalam mengetik naskah proklamasi.
Namun nyatanya, beliau tak hanya berjasa sebagai pengetik naskah saja, melainkan juga masih banyak jasa beliau yang diberikan bagi bangsa Indonesia. Siapa sebenarnya Sayuti Melik?
Mohammad Ibnu Sayuti merupakan nama Asli dari Sayuti Melik, ia merupakan pria kelahiran Sleman 22 November 1908. Kedua orang tua Sayuti bernama Abdul Mu’in alias Partoprawito dan Ibunya Sumilah.
Sang Ayah lebih dikenal dengan panggilan Dulmaini, seorang bekel jajar ( jabatan Pamong Praja pada tingkat desa di daerah Yogyakarta pada zaman Kolonial Belanda). Sedangkan, ibunya merupakan seorang pedagang kecil barang-barang kain di pasar.
Sayuti memiliki istri bernama Tri Murti dan istri kedua Bernama Siti Ranjari serta mempunyai dua orang putra, yaitu Musafir Kurma Budiman (1939) dan Heru Baskoro (1942), Sayuti dan keluarganya beragama Islam.
Sayuti memulai pendidikannya di sekolah Ongko Loro (SD) di Srowolan Solo, Sekolah itu terletak cukup jauh dari rumahnya yakni sejauh 9 KM. Namun Sayuti hanya menyelesaikan pendidikannya sampai kelas 4 dan kemudian dilanjutkan di Yogyakarta. Semasa sekolah beliau termasuk anak yang pintar dan rajin, boleh dikatakan beliau selalu menjadi nomor satu dalam hal pembelajaran berhitung.
Sang Ibu menginginkan agar Sayuti menjadi seorang guru. Demi memenuhi keinginan dari sang Ibu, Melik pun mengikuti serangkaian tes guna menjadi guru sewaktu di Sleman. Namun, Melik sendiri belum pernah menjadi guru.
Kemudian Melik di ajak menjenguk kakaknya di mutilan disana ia pernah menikuti tes sekolah guru Katolik dan ia lulus serta dan diperbolehkan mengikuti pembelajaran. Di sekolah guru Katolik dia mengikuti pemelajaran hanya sekitar sebulan, karena di mutilan dia hanya sekedar menjenguk Kakanya saja, lepas dari itu ia pergi ke Solo dan melanjutkan sekolahnya di sana.
Semenjak sekolah di Solo tersebut dia mulai pandai berbicara. Dan, juga mulai mencoba-coba berkecimpung dalam organisasi dengan mendirikan perkumpulan pelajar.
Untuk diketahui, Sayuti Melik memiliki sosok pemberani dan pantang menyerah karena pengaruh lingkungan yang ia dapati selagi ia masih belia. Ia tengah melihat ketidakadilan yang ia rasakan antara ayah dan ibunya.
Ayahnya yang senang berfoya-foya sangat berbeda dengan sang ibu yang lebih memfokuskan diri terhadap karier sebagai seorang pedagang. Ia pun bahkan telah berani menentang kemauan ayahnya yang suka menyuruhnya melakukan yang tidak sesuai dengan jalan dan pikirannya.
Sewaktu Melik bersekolah, ia memiliki seorang guru sejarah bernama HA Zurink. Beliaulah yang mendorong semanagt Sayuti untuk berjuang. Meskipun Zurink adalah seorang berkebangsaan Belanda, namun ia tak sampai hati melihat perlakuan dari negaranya terhadap orang Indonesia.
Zurink menyuruh Sayuti Melik dan kawan-kawannya menumui Suwardu Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mengenai bagaimana tata cara pergerakannya. Karena H. A. Zurink sangat mengenalnya sewaktu dia masih sekolah di Belanda. Kemudian sikap H. A. Zurink diketahui oleh PID ( Politikie Inliethingen Dienst ) atau biasa disebut Polisi Rahasia Belanda. Kemudian dia diusir dari Hindia Belanda dan kembali ke Negeri asalnya Belanda
Setelah H. A Zurink sebagai pendorong ia masuk ke politik dan orang selanjutnya adalah Haji Misbakh. Haji Misbakh adalah seorang tokoh dari Serikat Islam merah yang berpaham marxisme, kemudian sarekat islam merah berubah menjadi sarekat rakyat. disitulah Sayuti memiliki semboyan “berjuang sambil belajar’.
Kisah hidup Sayuti Melik juga diwarnai dengan penahanan berkali-kali oleh Belanda. Beliau juga pernah di buang di Boven Digul (1927-1933) karena dianggap terlibat dengan PKI oleh Belanda. Selama satu tahun beliau juga pernah ditawan dan dipenjara di Singapore, pada tahun 1937 beliau [ulang ke Jakarta namun dimasukkan ke sel di Gang tengah hingga 1938. Itulah mengapa ia dianggap merupakan penulis yang mampu membuat belanda merasa terganggu.
Sayuti mendirikan koran Pesat di Semarang, dimana segala bagian Redaksi hingga percetakan dan penjualan beliau kerjakan sendiri bersama istrinya. Itulah yang membuat mereka tetap tidak terlepas dari pengasingan. Selama menerbitkan koran tersebut, Sayuti Melik atau istrinya bergantian keluar masuk penjara dan pengasingan.
Hal itu dikarenakan tulisan mereka yang tajam dan kritis. Pada kependudukan Jepang tepatnya Putera didirikan, atas bantuan Bung Karno Sayuti Melik dan istrinya dapat bersatu kembali. Selain aktif dalam dunia jurnalis, biografi Sayuti Melik juga menyebutkan bahwa dirinya juga menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
Sayuti Melik merupakan pemuda atau pun golongan tua yang sangat mendukung segera diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945, Seokarno dan Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdengklok. Penculikan tersebut bertujuan untuk menyakinkan Bung Karno dan Bung Hatta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia, ketika Jepang sedang kalah dari sekutu.
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di rumah Laksamana Muda Maeda. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Setelah selesai, dinihari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat “Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia.
Setelah Indonesia Merdeka ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946 atas perintah Mr. Amir Syarifudin, ia ditangkap oleh Pemerintah RI karena dianggap sebagai orang dekat Persatuan Perjuangan serta dianggap bersekongkol dan turut terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946.
Setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, ia dinyatakan tidak bersalah. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Ia dibebaskan setelah selesai KMB. Tahun 1950 ia diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan ’45 dan menjadi Wakil Cendekiawan.
Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977. Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan dimakamkan di TMP Kalibata
Sayuti Melik menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).
Artikel ini ditulis oleh: