Presiden Joko Widodo berjalan menuju ruangan rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6). Rapat tersebut membahas soal Program Pembangunan Pembangkit 35 ribu MW dan Transmisi. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ed/pd/15.

Jakarta, Aktual.com — Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Jami Kuna memandang menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dirasa kurang tepat. Sebab, yang disebut penghinaan adalah sebuah kritik yang ditujukan kepada pemerintah oleh rakyat, yang peduli terhadap keadaan sosial politik.

“Itu namanya sanksi sosial. Jika pemerintah melarang adanya kritik artinya pemerintah melanggar sistem yang negara ini anut yaitu demokrasi dan tentu ini sebuah kemunduran dalam demokrasi. Kritik yang diberikan sebenarnya itu sama dengan sanksi sosial yang diberikan oleh rakyat terhadap pemimpinnya,” ujar Jami Kuna di Jakarta, Selasa (11/8).

Jami mengungkapkan kritik tentu memiliki dasar dan tidak mungkin adanya kritik tanpa alasan atau dasar yang jelas.

“Lalu, ketika sebuah kritikan memiliki dasar yang jelas apakah itu layak disebut sebagai penghinaan?” katanya.

Menurutnya, kritik merupakan hal wajar, dimana presiden merupakan orang yang diberikan otoritas dalam menentukan kebijakan dimana rakyat kemudian menjadi objek dari kebijakan tersebut.

Lagipula, lanjutnya, berdasarkan UUD 1945 Pasal 36A dan UU No 24 Tahun 2009 presiden tidak disebut sebagai simbol negara.

Jami menyarankan agar presiden lebih fokus dalam membenahi keadaan bangsa. “Itu lebih tepat, mengingat masih banyaknya problem-problem yang belum terselesaikan. Ditambah lagi janji-janji pada masa kampanye seperti akan menerapkan Trisakti belum juga dijalankan,” jelasnya.

Selain itu, ia pun mengimbau agar presiden menjadikan kritikan sebagai rambu-rambu dalam menjalankan pemerintahannya.

“Namanya juga pimpinan, wajar dong bila dikritik dan memang harus siap dikritik jika salah, kalau belum siap iya jangan jadi pemimpin.”

Artikel ini ditulis oleh: