Jakarta, Aktual.com — PT Pertamina (Persero) akan membangun pabrik bioavtur untuk menjamin ketersediaan avtur ramah lingkungan bagi maskapai penerbangan demi terwujudnya penerbangan hijau.
Manajer Teknologi dan Perkembangan Produk Direktorat Gas, Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Andianto Hidayat usai konferensi pers tentang Konferensi Penerbangan Hijau Internasional, mengatakan saat ini pihaknya tengah melakukan studi kelayakan.
“Studi kelayakan enam sampai delapan bulan selesai, akhir tahun depan baru selesai untuk ‘ground breaking’ (pemancangan batu pertama),” katanya di Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (12/8).
Andianto mengatakan, dengan demikian, pembangunan bisa dilakukan mulai 2017 dan memakan waktu 18 bulan hingga dua tahun dengan kebutuhan investasi 450 juta dolar AS.
“Jadi, kita ‘on stream’ (mulai beroperasi) tahun 2018,” katanya.
Dia belum mengungkapan lokasi tepatnya pabrik tersebut, namun di sekitar Jawa dan Sumatera atau di kawasan sekitar bandara internasional untuk menjamin pasokan dengan mudah.
“Kalau menyediakan ke bandara-bandara kecil sulit karena infrastrukturnya mahal, nanti pasar tidak akan tertarik, terlalu berat,” katanya.
Pasalnya, pemerintah telah mengatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, bahwa komposisi bioavtur minimal dua persen dari keseluruhan avtur, sementara biodiesel 15 persen.
“Mandat pemerintah harus tetap jalan, jangan sampai ada regulasinya tapi tidak ada yang suplai,” katanya.
Andianto mengatakan untuk produksi tahap pertama ditargetkan 260.000 kiloliter, yaitu 260 juta liter per tahun.
“Dari Airnav, kebutuhan mereka paling banyak 26 juta liter, kita ada 260 juta, jadi hanya 10 persen saja yang bisa diserap, artinya kita harus cari pasar lain selain Indonesia,” katanya.
Untuk itu, dia mengatakan pihaknya akan melakukan “joint venture” agar pabrik bioavtur terjamin ketersediaannya, untuk saat ini direncanakan akan memulai usaha patungan dengan PT Wilmar Nabati Indonesia, perusahaan pengolah kepala sawit.
Meskipun saat ini Andianto memproyeksikan prospek bioavtur masih kecil, maskapai-maskapai di Eropa, Amerika dan Brazil telah menggunakan bioavtur yang bisa dijadikan pasar sasaran.
“Komponen bioavtur ini tidak mungkin menggantikan keseluruhan avtur karena kita belum menemukan formula yang bisa memiliki karakteristik yang sama,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: