Semarang, Aktual.com — Sejumlah seniman kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang berusaha keras menanam mobil tua di pintu masuk dusun di kawasan Gunung Andong untuk menebarkan pesan pentingnya pelestarian alam dalam semangat “go green”, melalui Festival Lima Gunung 2015.

Dengan dibantu sejumlah warga setempat di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lokasi festival tahunan tanpa sponsor yang diselenggarakan seniman petani Komunitas Lima Gunung itu, tiga hari mereka selesai menanam mobil buatan 1981 tersebut.

Mobil jenis Land Rover Seri III yang ditanam di tepi jalan aspal dusun setempat di tepi areal pertanian sayuran dan tembakau di kawasan Gunung Andong, menjadi bagian dari kampanye penyelamatan lingkungan yang mereka lakukan.

Sejumlah seniman dari Gabungan Seniman Borobudur (Gasebo) yang bekerja membuat instalasi “go green” tersebut, yakni Mang Yani, Arief Sulaiman, Arief Sapari, Hatmojo, Sherly, Agus “Merapi” Suyitno, dan Novianto Eko Purnomo.

Tanah tepi jalan dibuat lubang sedalam sekitar satu meter untuk menempatkan mobil secara berdiri, kemudian di bagian bawah dua roda belakang ditopang dengan dua balok kayu. Untuk menguatkan posisi berdiri, mereka menggunakan beberapa bongkah batuan.

Setiap orang yang sedang melintasi jalan tersebut dari arah pusat Kecamatan Ngablak menuju Dusun Mantran (sekitar tiga kilometer) di arena festival yang meliputi “panggung wetan (timur)” dan “panggung kulon (barat)”, dipastikan menengokkan kepalanya untuk melihat seni instalasi dari mobil tua tersebut.

Para seniman memoles warna mobil yang semula abu-abu, menjadi karya mural bermotif ornamen tradisional sehingga terkesan akrab dengan landskap areal pertanian berlatar belakang gagahnya Gunung Andong.

“Festival dengan kekuatan dusun, gunung, alam, dan masyarakat petani ini, memberi inspirasi kami untuk menyampaikan pesan untuk pelestarian lingkungan alam. Kami mau menyampaikan pentingnya pengurangan pemakaian bahan bakar minyak, pengurangan pemakaian bahan kimia untuk pertanian, kurangi sampah plastik. Dan yang penting juga, tanam pohon,” kata Novianto yang akrab dipanggil Aan.

Anggara Tua Sitompul, perupa dari Yogyakarta yang datang ke Mantran Wetan empat hari sebelum festival dimulai, kemudian berjalan menikmati suasana lingkungan pertanian sayuran di kawasan Gunung Andong.

“Saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini,” ucapnya.

Ia pun terinspirasi untuk ikut iuran membuat seni instalasi berbahan tanaman cabai yang sudah kering menjadi karyanya yang kemudian ditempelkan di tembok rumah seluas 24 meter persegi di arena “panggung wetan”.

Karya seni instalasi berbahan ranting kering itu, antara lain berupa bentuk belah ketupat, segitiga, lingkaran, setengah lingkaran, dan paduan segitiga dan setengah lingkaran.

Lebih dari seminggu sebelum mulai festival, para pemuda Mantran Wetan dengan dipandu seorang seniman yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), Sujono, menghias seluruh lokasi, terutama di tepi jalan utama dusun itu dengan aneka seni instalasi berbahan ratusan belarak.

Mereka membuat ratusan penjor dari belarak yang dibentuk gunungan dengan tempelan anyaman janur kuning untuk ditempatkan di tepi kanan dan kiri jalan. Tempat duduk para tamu festival di “panggung wetan” juga dibuat dari bambu dan belarak sebagai atapnya, serta puluhan bungkus ketupat digantung sebagai penghias.

Seni instalasi dari belarak berbentuk gunungan dan sejumlah penjor belarak juga menjadi latar belakang panggung seluas sekitar 375 meter persegi dengan rumbai-rumbai dari daun kelapa juga.

Saat sineas Garin Nugroho hadir di tengah warga setempat gotong-royong membuat panggung dan menghiasi dengan seni instalasi pada Minggu (9/8), ia iuran ide untuk membiarkan genting rumah-rumah warga tidak tertutup keramaian hiasan panggung sehingga lebih leluasa terlihat penonton festival. Latar belakang utama panggung tersebut, berupa pemandangan tubuh Gunung Andong dengan tipe gunung perisai itu.

Sujono yang juga pemimpin Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, di kawasan antara Gunung Merapi dan Merapi, membuat sentuhan akhir seni instalasi di arena “panggung wetan” sebagai tempat utama pementasan, dengan membuat tulisan “Festival 5 Gunung ke 14”.

Tulisan tersebut dibuatnya dari janur kuning, masing-masing huruf saling diikatkan dengan tali, lalu dipasang di atas genting rumah seluas sekitar 63 meter persegi, di samping panggung utama.

Boleh dikata di lokasi Festival Lima Gunung XIV dusun setempat, tak ada hiasan dan seni instalasi yang menggunakan bahan dari plastik dan kertas.

Begitu pula, tebaran sampah seakan tak sempat terlihat, seperti halnya ketika ribuan masyarakat selesai mengikuti mujahadah untuk peresmian Masjid Al-Mubarok Dusun Mantran Wetan, dalam rangkaian festival tersebut, yang dihadiri sejumlah kiai berpengaruh di kawasan Gunung Andong pada Jumat (14/8) menjelang petang.

“Langsung kami perintahkan mengumpulkan sampah yang berserakan, tidak hanya di tempat pengajian, tetapi juga di halaman rumah-rumah warga,” ujar Ketua Panitia Lokal Mantran Wetan Festival Lima Gunung XIV, Sutopo.

Sebanyak empat perempuan setempat, Rina, Nita, Juwariah, dan Darsih, terlihat asyik bersama puluhan warga lainnya, mengumpulkan tebaran sampah di tempat itu dengan memasukkan ke dalam keranjang dari bambu, untuk kemudian dibuang ke tempat sampah.

Begitu pula, seluruh warga sudah diminta untuk membersihkan kamar mandi dan toilet masing-masing, sebagai bagian dari pemberian pelayanan terbaik kepada para tamu festival yang menginap di dusun itu.

Festival Lima Gunung XIV berlangsung di dua lokasi, yakni Mantran Wetan di kawasan Gunung Andong dan Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merapi pada 14-17 Agustus 2015.

Panitia utama festival di bawah koordinator seorang petinggi Komunitas Lima Gunung, Riyadi, memperkirakan 800-1.000 orang tampil dalam seluruh rangkaian agenda yang padat pada festival tersebut.

Mereka selain kelompok-kelompok seniman yang tergabung dalam komunitas, juga grup-grup kesenian di desa-desa sekitar lokasi festival, serta para seniman dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri yang selama ini berjejaring dengan Komunitas Lima Gunung.

Berbagai kegiatan festival, antara lain pentas tarian tradisional, kontemporer, dan kolaborasi, pentas musik, pembacaan puisi, pameran seni rupa, kirab budaya, sarasehan budaya, pidato kebudayaan, ziarah ke puncak Gunung Andong, peresmian Masjid, pengajian akbar, peluncuran buku, peringatan HUT Ke-70 RI, pentas wayang dan ketoprak.

Suasana semarak memang dihadirkan oleh warga dusun dan gunung melalui festival itu, akan tetapi pesan-pesan cinta alam juga tak lepas ingin disampaikan kepada masyarakat luas melalui kampanye “go green”.

Artikel ini ditulis oleh: