Jakarta, Aktual.com — Pakar ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menyebut, proyek raksasa Giant Sea Wall hanya akan menjadi comberan atau tempat sampah raksasa di utara Jakarta jika terealisasi pengerjaanya. Sebab, dia menilai, ada kesalahan dari proyek yang tujuannya untuk menahan bajir rob dan pengadaan air tawar itu.
Dijelaskan pria alumni Universitas Indonesia itu, untuk menahan laju air ke tengah kota Jakarta tidak membutuhkan Giant Sea Wall, namun hanya memberi masukan air hujan yang besar ke dalam tanah seperti aqua perr sehingga masyarakat Jakarta tidak takut dengan datangnya hujan besar.
“Kapan itu terjadi titik hujan bukan musibah, hujan akan menjadi berkah, menyediakan persediaan air tawar yang cukup saat musim kering seperti sekarang,” kata Ichsanuddin Noorsy kepada Aktual.com di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (16/8) malam.
Kedua, lanjut Noersy untuk mencegah banjir rob atau menahan serangan air laut kedaratan bukan dibangun GSW, melainkan perlu membangun pemecah Gelombang (Break Water). “Jadi ketiga Jokowi-Ahok bicara pendekatan banjir dengan model horizontal. Saya tegas mengatakan itu jalan keluar yang akan menimbulkan beban hutang,” bebernya
Lebih lanjut dia menjelaskan, proyek raksasa Giant Sea Wall yang didalamnya juga terdapat mega proyek reklamasi 17 pulau itu, hanya menciptakan proyek raksasa bagi para pemodal, dimana proyek tersebut menciptakan ruang properti jangka panjang dengan membuat kawasan eklusif atau kehidupan yang terpisah.
Menurut dia, hal itu semakin menunjukan DKI Jakarta adalah potret ketimpangan ekonomi antara si miskin dan si kaya. Pasalanya dengan modal 3 sampai 5 juta pemodal akan menjual tanah dikawasan tersebut 80 sampai 100 juta permeter persegi.
“Berarti itu kan hanyalah orang orang kaya, kita sudah kebanjiran kaya gini anda reklamasi kan meanambahkan naik. Berari anda sedang meninggikan air laut, akan muncul budaya yang buruk, polusi sampah, Ini pinter-pinternya pala pemilik modal, Relasi antara modal sosial dan finasial yang digerakan dengan aktifitas sehari-hari dia menimbulkan kultur. Mekanismenya begitu, kalau itu tidak dibayangkan memperbaiki kebijakan,” kata dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu