Jakarta, Aktual.com — Banyak orang yang kerap dapat kesan bahwa sepak-terjang Budi Utomo sejak awal kelahirannya melekat pada diri seorang tokoh perintis kebangkitan nasional, Dr Sutomo.

Padahal, jika kita telisik sejarah kiprah organ kemasyarakatan yang didirikan oleh para mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Batavia tersebut, Sutomo hanya aktif di masa-masa awal berdirinya Budi Utomo, sebelum kemudian lebih didominasi dan diwarnai oleh kalangan aristokrat dan feodal Jawa.

Sedangkan Sutomo dan Gunawan, pemrakarsa Budi Utomo dari lapisan generasi muda yang berhaluan lebih progresif, justru tersingkir dari arena politik Budi Utomo.

Begitupun, ketokohan pria kelahiran Desa Ngepeh,dekat Nganjuk, Jawa Timur pada 30 Juli 1888 ini, layak untuk kita pandang sebagai sang penerobos tumbuhnya benih-benih nasionalisme Indonesia. Bahkan Dr R Van Niel dalam bukunya yang terkenal, “The Emergence of the Modern Indonesian Elite”, Sutomo boleh dibilang merupakan tokoh sentral pergerakan nasional yang ikut andil dalam membentuk corak kehidupan Indonesia pada era 1920-an.

Bukan itu saja. Sebagai mahasiswa kedokteran STOVIA di Jakarta yang bercorak barat di negeri yang sedang dalam masa penjajahan Belanda, dia bisa disebut sebagai contoh dari semua sifat yang disebut muda, maju, dan sadar.

Meskipun Sutomo dan beberapa kalangan muda ikut memotori berdirinya Budi Utomo atas saran masukan dari tokoh sepuh Jawa Dr Wahidin Sudirohusodo, namun kisah sukses Sutomo bukan dalam kiprah perannya di organ yang oleh Dr Nagazumi dipandang sebagai perintis kebangkitan nasional. Kiprah Sutomo dalam pergerakan kebangsaan justru di era 1920-an.

Pada 1924, Sutomo mendirikan Klub Studi Indonesia di Surabaya. Perintis dan motor penggerak Parrta Bangsa Indonesia pada 1930, dan Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1935.

Otobiografinya yang bertajuk Kenang-Kenangan, kiranya bermanfaat untuk mengungkap seraya memahami “dunia dalam” Sutomo, apa artinya menjadi anggota suatu generasi yang “telah sadar” dan cara pandang dirinya memandang kurun sejarah era saat itu. Dan bagaimana dirinya sebagai personifikasi dari kalangan pergerakan nasional kala itu dalam menghadapi situasi-kondisi kolonial khususnya di tanah Jawa.

Mari kita telisik dulu silsilah dan asal-usul keluarganya. Kakek dari garis ibunya adalah seorang kepalang (pemimpin desa) yang kaya dan sejak awalnya bekerja di Binnenlandsch Bestuur (Administrasi Teritorial Pribumi). Ayahnya seorang guru yang berwibawa dan seorang administrator yang menanjak naik ke tingkat wedana, yang waktu itu merupakan tingkat birokratis yang paling tinggi yang bisa dicapai seorang anak Jawa yang bukan keluarga bupati.

Hingga berusia 6 tahun, Sutomo dipelihara kakek-neneknya dari garis ibu. Kemudian ia dikirim ke sekolah pertama berbahasa Belanda (ELS) di Bangil. Sebuah hak istimewa yang waktu itu hanya segelintir anak muda pribumi yang bisa diterima. Sebab pada 1895 ketika Sutomo diterima di ELS, hanya sekitar 1135 orang Indonesia yang diterima di sekolah dasar bikinan Belanda itu.

Pada 1903, Sutomo masuk sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta pada usia 14 tahun. Pada 1911, ia lulus dan berhak menyandang gelar sebagai dokter. Dan mulai bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai tempat di Jawa dan Sumatr. Pada 1919, Sutomo mendapat kesempatan belajar di Belanda untuk sekolah lanjutan, dan kembali ke tanah air pada 1923.

Masa kedinasannya sebagai dokter ikatan dinas pemerintahan kolonial Belanda di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra maupun keikutsertaannya dalam dinamika pergerakan nasional sewaktu menempuh studi di Belanda itulah, kesadaran nasional dan kesadaran politik mulai tumbuh dalam pikiran dan jiwa Sutomo.

Sayangnya, seperti juga secara jeli dibaca oleh sejarawan Universitas Cornell Dr Ben Anderson, dalam otobiografinya itu sama sekali tidak terungkap kisahnya mengenai keberhasilan ataupun kegagalannya selama masa 30 tahun berkiprah di dunia pergerakan politik kebangsaan, khususnya kiprahnya ketika ikut mendirikan Budi Utomo.

Tapi uniknya, melalui otobiografinya, seakan Sutomo bermaksud berkisah betapa kearifan lokal nusantara, sadar atau tidak, telah menjadi sarana tumbuhnya benih-benih kesadaran nasional dirinya di kelak kemudian hari. Hal ini terlihat ketika Sutomo berkisah mengenai pendidikan yang ditempuh kakeknya.

Sutomo menulis: “Ia anak seorang kaya yang dulunya menjadi lurah di situ juga. Oleh karena itu, apabila oran melihat pada masanya, ia mendapat pendidikan yang cukup. Ia dikirim dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain, dengan guru-guru yang termasyhur. Karena perjalanan yang dilakukannnya, kakek saya punya pengalaman cukup luas. Menurut apa yang dikatakan orang, hanya di pesantren Sepanjang (dekat Surabaya) ia mendapat ilmu yang luas dan memadai. Paa itu belum sekolah. Selain belajar Al Quran, ia juga belajar menulis dan membaca bahasa Jawa dan Melayu, dan juga belajar ilmu Falak (astronomi) yang menerangkan perjalanan bintang-bintang dan bulan. Ia juga mempelajari ilmu kebatinan dan ilmu kedotan (yaitu pengetahuan yang menyebabkan orang tidak terluka bila kena tikam, tidak sakit dipukul.”

Tersirat melalui kisah kakeknya ini, Sutomo hendak menyatakan bahwa produk pendidikan berbasis trasional seperti pesantren, juga tak kalah besar sumbangannya dalam melahirkan putra-putri nusantara yang cerdas secara intelektual maupun spiritual.

Di dalam otobiografinya itu Sutomo mengaku sempat terpengaruh oleh pandangan Multatuli dalam karyanya Max Havelaar. Namun sepertinya Sutomo tidak kemudian menganut “aliran baru” yang dikemukakan oleh Multatuli. Yang terjadi kemudian, tradisionalisme yang dianut kakeknya maupun pandangan-pandangan progresif barat ala Multatuli, hanya sekadar sarana untuk menginspirasi Sutomo untuk membentuk pandangannya sendiri yang khas, dalam memandang kondisi zaman kolonial Belanda yang sedang bercokol di Indonesia(kala itu bernama Hindia Belanda).

Melalui penuturan ini, sedikit banyak kita bisa memahami mengapa ketika dalam fase pembentukan Budi Utomo, sosok Sutomo terkesan ada di simpang jalan antara feodalisme dan nasionalisme berhaluan progresif. Penyikapannya yang tidak lagi bisa menyetujui sikap-sikap feodalistik kakeknya namun juga tidak mau larut sepenuhnya dalam aliran baru progresif dari barat yang berhaluan liberal, Sutomo kemudian sepertinya mengalami kegamangan dan kegalauan.

Sutomo tidak menganggap pandangan para leluhurnya salah karena ia memandang para leluhurnya sekadar ‘anak-anak zaman,” namun Sutomo pun berpandangan bahwa dirinya berada di era zaman yang berbeda. Namun belum bisa memastikan secara konseptual dalam zaman macam apa ia berada sekarang.

Namun seperti dinyatakan oleh Dr Ben Anderson, setidaknya Sutomo sudah berada pada fase “diri yang sadar” sehingga terjadi jarak antara pribadi dan kebudayaan. Seraya pada saat yang sama Sutomo mulai membangun suatu gagasan baru tentang tradisi.

Konteksnya lebih pada menyegarkan kembali tradisi, bukannya melawan tradisi.
Sutomo lebih terbuka terhadap aneka gagasan dan pemikiran barat, namun pada saat yang sama hal itu kemudian tetap dia serap dalam kerangka sosok dirnya sebagai seorang Jawa Tradisional. Meskipun pada kenyataannya dia adalah produk pendidikan model barat di sekolah kedokteran STOVIA.

Penghayatan kesadaran nasionalnya mulai terbangun justru ketika jadi murid sekolah dasar di Bangil. Penuturan Sutomo: “Guru-guru dan teman-teman sekolah saya orang Belana tidak pernah merendahkan saya—malah sebaliknya. Tetapi, setiap kali saya mendengar kata-kata penghinaan yang ditujukan kepaa murid bangsa Jawa yang lain, seperti ‘pentol’ atau Jawa, panaslah telinga saya. Dan apabila ada suasana yang tidak adil, saya segera bertindak, sehingga seringkali saya berkelahi dengan anak-anak lain di sekolah itu. Saya tidak pernah menang, karena anak-anak Belanda lebih besar dan kuat dibanding dengan teman-teman saya, dan mereka dengan mudah dapat membantng saya.”

Jelaslah bahwa cerita Sutomo mengandung suatu pesan, yang bermaksud memperlihatkan suatu pertumbuhan kesadaran sosiologis mengenai adanya ketidakadilan rasial dalam masyarakat kolonial Belanda. Sehingga kiprahnya kelak sebagai tokoh pergerakan nasional bisa ditarik benang merahnya melalui konstruksi cerita tadi. Cerita mengenai perkelahiannya dengan anak Belanda tersebut, dalam diri Sutomo kemudian jadi ingatan terselubung di batin bawah sadarnya sehingga tumbuh kepekaan mengenai perjuangan bangsa Indonesia pada umumnya melawan Belanda.

Keberanian datang dari kenangan-kenangan tentang assal-usul seseorang. Seorang bertumbuh melalui pertumbuhan ke belakang. Begitulah moral cerita yang disampaikan Sutomo melalui otobiografinya.

Kisah Sutomo sejatinya tentang perbenturan pendidikan ala Jawa dan Barat(Belanda). Satu pihak, tidak meninggalkan sifat-sifat atau perangai para leluhurnya, namun pada saat yang sama tidak meniru mereka. Artinya, menjadi orang Jawa yang baik, berarti harus menjadi orang Indonesia yang baik.

Kiranya, Sutomo telah meletakkan pondasi yang amat penting untuk menuntun dirinya dalam kipah perjuangannya kelak ketika aktif di Budi Utomo maupun organ-organ kebangsaan lainnya sejak 1908 hingga 1938.

Sebagai mahasiswa kedokteran STOVIA, Sutomo sebenarnya lebih dekat dengan “dunia baru” atau pemikiran-pemikiran barat, apalagi penguasaan bahasa Belandanya yang cukup fasih. Namun pertemuannya dengan Dr Wahidin Sudirohusodo, Sutomo seakan diingatkan pada sebuah kesadaran bagaimana menjalani kehidupan cara barat di zaman kolonial tanpa harus meniru pola pikir dan gaya hidup orang-orang barat. Hal itulah yang tergambar melalui keteladanan riwayat hidup Dr Wahidin.

Seakan keteladanan hidup Dr Wahidin maupun kakeknya, telah mengirim pesan moral pada Sutomo: Mengambil hikmah dan inspirasi dari para leluhur tapi bukan berarti meniru mereka. Mengambil dan menyerap rahasia-rahasia kekuatan dan ilmu pengetahuan barat tanpa harus menjadi orang yang kebarat-baratan.

Melalui konstruksi riwayat hidup Sutomo, maka kita jadi paham bagaimana alam pemikiran dan gagasannya ketika ikut memotori berdirinya Budi Utomo. Namun posisinya yang di simpang jalan antara Tradisi dan Nasionalisme, kiranya menjelaskan mengapa peran dan kiprahnya di Budi Utomo seakan paradoks. Satu pihak Sutomo dan kawan dekatnya Gunawan Mangunkusumo yang berhaluan progresif dan berasal dari kalangan muda begitu intensif merintis kelahirannya, namun pada perkembangannya kemudian justru tersingkir oleh para seniornya yang berasal dari kalangan aristokrat dan aparat birokrasi pemerintahan kolonial Belanda.

Pengamatan Gunawan Mangunkusumo mengenai kiprah kaum muda di Budi Utomo, termasuk dirinya dan Sutomo mungkin bisa menggambarkan paradoks generasi muda era Sutomo pada umumnya dalam menyikapi kiprah dan kehadiran Budi Utomo yang belakangan diklaim sebagai organ perintis kebangkitan nasional: “Maksud para pemuda di Budi Utomo adalah untuk tetap menjadi motor agar dapat mendorong para senior mereka dari belakang.”

Jika merujuk pada ungkapan Jawa tut wuri handayani, membimbing dari belakang, maka ungkapan Gunawan itu menjadi suatu keanehan. Karena dalam falsafah Jawa yang tersurat dalam ungkapan tut wuri handayani, justru kesempurnaan tercapai ketika orang tua membimbing para pemuda dari arah belakang.

Ungkapan Gunawan, sejatinya menggambarkan ekspresi pedih, kecewa dan gelisah generasi muda era Sutomo, ketika Budi Utomo yang semula diharap akan menjadi tonggak sejarah kebangkitan nasional, pada perkembangannya justru bergerak ke ekstrim yang sedari awal ditentang Sutomo. Yaitu meniru secara bulat-bulat perangai dan sifat-sifat leluhurnya yang feodalistik dan statis.

Seperti kesimpulan Dr Ben Anderson, bahwa Sutomo dan mungkin juga kawan-kawan segenerasinya kala itu, merasakan bahwa perkembangan pergerakan serta kehidupan pribadinya terpisah dalam arah yang berbeda.

Artikel ini ditulis oleh:

Hendrajit