Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebutkan, dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini, seharusnya korupsi sudah tidak ada lagi. Hal ini berbeda dengan sistem otoriter yang dianut pada jaman Orde Baru sehingga kemungkinan besar ada tindak pidana korupsi.
“Sistem otoriter tertutup, karena tertutup maka didalamnya ada korupsi. Dan karena ada korupsi didalamnya bangsa ini menuntut demokrasi. Lalu kita bangun sistem demokrasi sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang full demokratis. Sistem demokrasi itu artinya sistem terbuka atau terbentuk open society. Ketika sistem ini terbuka, maka ketidaksempurnaan sistem itu terbaca dan dikomentari. Efeknya harusnya korupsi hilang,” ujar Fahri dalam diskusi “Menimbang Eksistensi KPK” di Jakarta, Kamis (20/8).
Padahal, kata dia, korupsi saat ini tak meningkat jumlahnya, hanya saja korupsi yang terjadi saat ini terlihat dipermukaan karena sistem demokrasi ini. “Korupsi itu tidak naik jumlahnya, cuma sekarang lebih kelihatan karena keterbukaan. Dulu kalau ada orang yang korupsi, kita hanya bisa mengumpat saja, sekarang kan ditindak. Dulu korupsi triliunan tidak ada yang urus, sekarang kan beda,” kata dia.
Dia mengatakan, yang paling berbahaya dari situasi seperti ini ialah seolah semua itu adalah kondisi yang luar biasa. Padahal keadaan justru semakin membaik. Sekarang ini, lanjut dia korupsi dianggap besar dan meluas karena definisi korupsi juga dilebarkan kemana-mana.
“Terima parcel dianggap korupsi, grativikasi dianggap korupsi, daftar kekayaan dianggap korupsi. Padahal Nabi Muhammad pun mengajarkan kepada umatnya untuk saling memberi hadiah,” kata dia.
KPK sesuai UU 30 tahun 2002 tentang KPK, lanjut Politikus asal Partai Keadilan Sejahtera itu, memiliki tugas utama adalah koordinasi dan monitoring lembaga yang ada. Sehaingga, menurut Fahri jaksa dan penyidik KPK adalah dari polisi dan kejaksaan.
“Lantas untuk apa mengambil alih tugas kepolisian dan kejaksaan? Kan lebih baik kerja bersama polisi sehingga urusan korupsi bukan cuma menjadi urusan Rasuna Said (red: Gedung KPK) saja,” kata dia.
KPK itu, sambung dia, seharusnya bekerja sama dengan Ombudsman dan juga 126 lembaga negara lainnya, tapi yang terjadi KPK justru mengambil semua pekerjaan lembaga lain. Ketidakberesan dalam keuangan negara seharusnya dilacak dengan audit dan bukan dengan alat sadap. Kalau menggunakan alat sadap, ujar dia, apa gunanya BPK dan BPKP.
“Lihat saja bagaimana laporan BPK tidak pernah ditindaklanjuti oleh KPK dan malah menyadap tanpa aturan. Harusnya KPK itu bergerak dari hasil audit BPK atau BPKP dan bukan menyadap. Yang jelas hasil audit tidak ditindaklanjuti, tapi yang tidak jelas malah disadap.Yang namanya korupsi dasarnya itu audit bukan penyadapan,” kata dia.
Tidak heran, lanjut Fahri ketika BPK yang ketika saat itu dipimpin Hadi Poernomo mengeluarkan hasil audit terhadap KPK, yang terjadi justru Hadi Poernomo dijadikan tersangka. Dan ketika Suryadharma Ali membenahi haji dengan memanggil Anggito Abimanyu, yang ahli keuangan untuk membereskan dan ketika itu juga mendapatkan predikat baik oleh BPK, KPK justru menetapkan Hadi Poernomo dan Suryadharma Ali dengan alasan yang tidak jelas.
“Mereka tidak pernah menindaklanjuti hasil audit BPK, tapi ketika BPK mengeluarkan audit terhadap KPK, ketua BPK pun kemudian mereka tersangkakan. Disisi lain, audit BPK yang memberikan predikat baik pada kemenag, justru tidak dipercaya KPK dan menangkap Surya dengan alasan yang tidak jelas.”
Fahri pun mengkritik sikap pimpinan KPK yang selalu melemparkan tanggung jawab penyidikan pada para penyidik KPK, padahal seharusnya pimpinan KPK itu lah sebenarnya penyidik KPK. “Mereka kalau ditanyakan mengenai satu kasus, itu urusan penyidik, kami tidak bisa intervensi. Lah ini kan aneh, pimpinan KPK yang penyidik KPK, kok ditanya itu menjadi urusan penyidik.”
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu