Jakarta, Aktual.com — Korea Selatan dan Utara, Kamis (20/8), terlibat baku tembak artileri di perbatasan kedua negara yang dijaga ketat militer, dalam insiden yang tidak menimbulkan korban namun memperburuk ketegangan lintas batas hingga tingkat membahayakan.

Korea Utara menindaklanjuti aksinya dengan mengirimkan ultimatum lewat saluran militer, yang memberikan waktu 48 jam bagi Korsel untuk menyingkirkan pengeras suara yang menyiarkan propaganda di sepanjang perbatasan atau menghadapi aksi militer lebih jauh.

Kementerian Pertahanan Korsel mengabaikan ancaman itu dan mengatakan bahwa penyiaran propaganda akan tetap berlanjut.

Baku tembak di perbatasan antar-Korea sangat jarang terjadi terutama, menurut pengamat, karena kedua belah pihak mengakui risiko peningkatan ketegangan mendadak antara kedua negara, yang secara teknis masih dalam kondisi perang.

Insiden pada Kamis itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan, menyusul ledakan ranjau yang melukai dua petugas patroli perbatasan Korsel pada Agustus dan peluncuran latihan militer gabungan Korsel-AS pekan ini yang semakin membuat marah Pyongyang.

Dalam jumpa pers setelah insiden itu, Kementerian Pertahanan mengatakan Korut yang memiliki senjata nuklir awalnya menembakkan artileri tunggal di sekitar perbatasan menjelang pukul 16.00 waktu setempat.

Target Propaganda Beberapa menit kemudian, Korut menembakkan beberapa artileri ke arah salah satu pengeras suara Korsel, namun tembakan itu jatuh di kawasan demiliterisasi (DMZ) sisi Korsel –kawasan penyangga selebar empat kilometer yang membelah garis batas aktual.

Militer Korsel membalasnya dengan menembakkan “puluhan peluru 155mm”, yang dikatakan oleh pihak kementerian diarahkan jatuh di DMZ sisi Korut.

Sebagai langkah pencegahan, warga setempat wilayah Yeoncheon, Korsel, yang berlokasi sekitar 60 km utara Seoul, diperintahkan meninggalkan rumah ke tempat perlindungan terdekat.

Tentara Korsel ditempatkan dalam posisi siaga penuh, sementara Presiden Park Geun-Hye memimpin pertemuan darurat Dewan Keamanan Nasional serta memerintahkan “tanggapan keras” atas setiap aksi provokasi lebih jauh.

Dan Pinkston, pakar Korea pada Kelompok Krisis Internasional di Seoul mengatakan situasi itu membuat kedua belah pihak terjebak dalam ketegangan yang berbahaya.

Keputusan Korut untuk melontarkan tembakan melintasi perbatasan dinilai mengejutkan, “karena risiko yang ditimbulkan begitu besar”, kata Pinkston.

“Jika mereka mengenai sesuatu yang strategis atau menyebabkan korban jiwa, tanggapan Korsel mungkin jauh lebih keras, dan tiba-tiba saja kita ada di jalan menuju konfrontasi serius,” imbuh dia.

Peningkatan ketegangan Insiden itu memicu ketegangan yang sudah memanas dalam beberapa pekan terakhir, menyusul peristiwa ledakan ranjau darat di perbatasan.

Seoul mengatakan ranjau itu dipasang oleh Korut dan meresponnya dengan memulai kembali penyiaran propaganda di sepanjang perbatasan menggunakan pengeras suara –yang sudah lebih dari satu dekade tidak diaktifkan.

Korut membantah tudingan itu dan mengancam akan menembak “tanpa pandang bulu” unit-unit pengeras suara itu.

Mereka juga bertekad melakukan serangan balas setelah Seoul dan Washington menolak membatalkan latihan militer tahunan Ulchi Freedom, yang dimulai pada Senin, dan menggunakan simulasi respon atas invasi Korut.

Biasanya Pyongyang memasang gaya retorika perangnya sebelum dan selama latihan gabungan tahunan itu, namun jarang disusul dengan ancaman.

Di masa lalu, tanggapan standar Korut adalah untuk menguji-tembak rudal ke Laut Timur (Laut Jepang).

Serangan langsung terakhir terhadap Korsel dilakukan pada November 2010 ketika Korut menembaki Pulau Yeonpyeong di perbatasan Korsel hingga menewaskan dua warga sipil dan dua tentara.

Dalam kejadian itu, Korsel merespon dengan menembak beberapa pos Korut sehingga sempat memicu kekhawatiran terjadinya konflik berskala penuh.

Pada Oktober 2014, petugas penjaga perbatasan Korut mencoba menembak jatuh beberapa balon helium yang diluncurkan melintasi perbatasan darat oleh pegiat, membawa ribuan selebaran anti-Korut.

Insiden itu memantik terjadinya baku tembak senapan mesin dan merusak rencana dimulainya kembali pembicaraan tingkat tinggi kedua negara.

Artikel ini ditulis oleh: