Jakarta, Aktual.com — Aktivis yang terlibat mendukung program hutan kemasyarakatan (HKM) menilai skema itu mampu menjadi resolusi konflik dalam kasus terkait hubungan petani-hutan dan pemerintah.
Simpulan itu diperoleh wartawan dari tiga aktivis yang selama empat hari, sejak Selasa (19/8) hingga Sabtu (22/8) dengan berkeliling menelusuri hutan dan bertemu dengan petani-hutan pada tiga HKM yang ada di Kabupaten Sikka hingga perbatasan dengan Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Mereka adalah Project Officer Kemitraan (The Partnership for Governance Reform) untuk mendukung Kementerian LH dan Kehutanan Gladi Hardiyanto, Program Officer Samanta NTT Alosius Tao dan Direktur Yayasan Kasih Mandiri Flores-Lembata (Sandiflorata) Aku Sulu Samuel.
Menurut Yayan, panggilan akrab Gladi Hardiyanto, HKM di Desa Hikong, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, sebagai salah satu dari tiga desa yang paling awal mendapatkan penetapan HKM dari pemerintah, semula merupakan sejarah penuh konflik.
“Namun, melalui advokasi, pertemuan dan perundingan antara petani-hutan didampingi LSM bersama pemerintah, akhirnya HKM itu mampu menjadi reolusi konflik,” katanya.
Alosius Tao menjelaskan konflik pengelolaan kawasan hutan Egon Ilimedho dan Iliwukoh Lewoloro di Kabupaten Sikka terjadi sejak dilaksanakannya kebijakan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) yang dilaksanakan Departemen Kehutanan Republik Indonesia pada 1983 sampai 1986.
Kawasan Wukoh Lewoloro merupakan kawasan hutan yang ditetapkan sejak pemerintahan Hindia Belanda tahun 1932 sebagai hutan tutupan.
Kemudian kawasan tersebut oleh pemerintah Indonesia ditetapkan lagi menjadi kawasan hutan negara melalui SK Menteri Kehutanan RI Nomor 124/KPTSII/1990 dalam RTK 126 dengan fungsi lindung.
Secara geografis, kawasan seluas 12.960 ha ini berada di dua wilayah administrasi kabupaten yaitu Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka.
Pelaksanaan kebijakan tataguna hutan kesepakatan (TGHK) di kawasan Hutan Wukoh Lewoloro berlangsung selama tahun 1984 yang ditandai dengan proses inventarisasi, penelusuran dan pemancangan batas kawasan, hingga mencapai tahapan penetapan batas defenitif kawasan hutan negara.
Sebagai eksutor kebijakan tersebut adalah Balai Intag wilayah Bali-Nusra, salah satu UPT Departemen Kehutanan yang membidangi planologi dan perpetaan hutan.
Penetapan batas kawasan hutan yang ditandai pemancangan pal batas defenitif, justru kemudian menjadi biang kerok terjadinya konflik antara institusi kehutanan dengan masyarakat adat atapun para petani di semua desa di sekitar kawasan hutan yang sejak turun-temurun menetap dan beraktifitas usaha tani di wilayah tersebut.
Konflik itu terjadi, kata dia, karena penetapan tata batas baru 1984 dinilai mengabaikan prosedur tata batas, sebagaimana diamanatkan oleh kebijakan Departemen Kehutanan sendiri.
Sedangkan, Aku Sulu Samuel menyatakan bahwa dengan melihat sejarah panjang konflik tersebut, maka program HKM yang kini mampu menjadi resolusi konflik itu hendaknya tetap dijaga.
“Wujudnya, adalah dengan terus memberikan pendampingan, sekaligus adanya program-program pemberdayaan bagi petani-hutan dari pemerintah terkait,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh: