Banda Aceh, Aktual.com — Masalah bendera dan lambang Aceh sudah selesai pembahasannya dan tidak ada khilafiyah lagi, bendera Aceh sudah disahkan dan ditetapkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang menjadikan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.

Bendera Aceh sudah jelas nomenklaturnya, bukan sebagai kedaulatan dan tidak dilakukan sebagai kedaulatan Aceh sebagaimana ditegaskan dalam BAB XXXVI Pasal 246 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 dan turunan dari hasil penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dalam point 1.1.5.

“Jika bendera dan lambang tersebut dikatakan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang dan Simbol Daerah adalah inskonstitusional,” sebut juru bicara Partai Aceh Suadi Sulaiman Laweung, Sabtu (22/8).

Jika pemerintah pusat mem-versus-kan bendera Aceh dengan PP Nomor 77 Tahun 2007 itu berarti Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan perintah undang-undang dan mengabaikan amanah perjanjian damai.

Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang memuat tentang Bendera dan Lambang Aceh adalah bagian perintah yang mengikat dari Undang Undang. Qanun ini pun dilahirkan atas dasar perintah Undang Undang Dasar 1945 melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Jika bendera Aceh ini dikatakan belum sah maka perlu untuk klarifikasi oleh Pemerintah Pusat untuk menerima atau menolaknya. Dalam hal ini, diberikan waktu maksimal 60 (enam puluh) hari oleh Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun hal ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, bendera tersebut sudah sah.

Sehingga pada hari peringatan damai Aceh yang kesepuluh, 15 Agustus 2015 yang lalu telah terjadi pengibaran bendera bulan bintang di komplek mesjid Agung Islamic Center Kota Lhokseumawe oleh anggota DPR Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, bisa dikatakan sebagai kerja nyata para anggota dewan dalam menjalankan perintah undang-undang dan amah perdamaian Aceh.

“Jadi tidak ada alasan lagi “haram” untuk menaikan bendera Aceh,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia tidak perlu menghadapkan Qanun Aceh tersebut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Simbol Dan Lambang. Jika terus menerus alasan ini yang dipertahankan oleh Pemerintah Indonesia, berarti Pemerintah Indonesia sama halnya juga sedang mencederai UUD 1945.

“Kita juga meminta Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar bisa menjamin kedaulatan negara Indonesia dengan tidak mencederai perdamaian Aceh lembaga negara mana pun. Karena keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberlangsungan perdamaian Aceh bisa terbentuk atas kesepahaman bersama, bukan dengan mengangkangi undang-undang dan amanah perdamaian itu sendiri,” sebutnya.

Untuk itu, dengan upaya Komisi I DPR Aceh yang ingin membuat Panitia Khusus tentang bendera dan keinginan Kepala Pemerintah Aceh untuk menggelar pertemuan dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) sangat kita harapkan adanya keputusan konkrit tentang pelaksanaan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 itu.

Di sisi lain, kita juga menegaskan kepada DPR Aceh dan Kepala Pemerintahan Aceh untuk membicarakan persoalan ini dengan Pemerintah Pusat dan pihak Crisis Management Iniciative (CMI) secara tuntas, tidak berlarut-larut lagi.

“Usahakan 4 Desember 2015 mendatang, bendera Aceh sudah bisa dikibarkan secara menyeluruh di seluruh Aceh sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh,” sebut Suadi.

Artikel ini ditulis oleh: