Jakarta, Aktual.com — Bank sentral Republik Rakyat Tiongkok menurunkan tingkat suku bunga dan jumlah tunai yang harus dimiliki bank, yang merupakan langkah stimulus terbaru yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi negara tersebut.
Bank Republik Rakyat Tiongkok (PBoC) mengumumkan dalam laman resminya untuk mengurangi tingkat suku bunga pinjaman dan deposit sebesar 25 basis poin (0,25 persen) dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio/RRR) sebesar 0,50 persen.
Langkah tersebut, menurut laman resmi bank sentral Tiongkok, akan mulai diberlakukan secara efektif pada Rabu (26/8), dan merupakan langkah pengurangan serupa yang pernah dilakukan pada akhir Juni.
PBoC dalam pernyataannya juga menyatakan “tingkat pertumbuhan ekonomi berada dalam tekanan”, dan melakukan pengurangan suku bunga bertujuan untuk “mendukung ekonomi riil untuk terus berkembang secara sehat”.
PBoC hingga saat ini telah memangkas suku bunga lima kali sejak November 2014 seiring otoritas Tiongkok yang ingin menghentikan penurunan tajam dalam pertumbuhan ekonomi yang dialami negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Tingkat suku bunga pinjaman (lending rate) diturunkan menjadi 4,6 persen, sedangkan tingkat suku bunga simpanan (deposit rate) berkurang menjadi 1,75 persen, menurut PbOC.
Pengurangan RRR juga merupakan langkah stimulus karena akan meningkatkan jumlah uang yang dapat dipinjamkan bank, sehingga meningkatkan aktivitas perekonomian.
Penurunan tajam bursa saham Tiongkok dan meningkatknya kecemasan di luar negeri mengenai pertumbuhan negara itu telah mengakibatkan gejolak dalam pasar ekuitas global di tengah-tengah kecemasan bahwa ekonomi dunia akan menderita bila Tiongkok melemah drastis.
“Penurunan tingkat suku bunga dan RRR beralasan dan langkah yang butuh diambil oleh pemerintah,” kata kepala strategi Cinda Securities, Chen Jiahe, kepada AFP.
“Di satu sisi langkah itu dapat mendukung ekonomi riil. Di sisi lain, langkah itu juga positif untuk pasar modal,” ujarnya, menambahkan.
Harga saham Tiongkok berjatuhan pada pertengahan Juni setelah fenomena terkait utang selama setahun lamanya, dan meski pemerintah telah memberikan program dukungan yang masif yang memberikan kenaikan sementara, tetapi aksi penjualan panik terjadi lagi sesudahnya.
Tiongkok adalah penggerak utama ekonomi global dan meski ekspansi telah melambat dalam beberapa tahun terakhir, kecemasan meningkat setelah situasi yang ada sebenarnya kemungkinan lebih buruk dari data resmi yang ditunjukkan pemerintah.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok pada tahun lalu tercatat berada dalam kinerja terburuknya selama hampir 25 tahun terakhir, hanya tumbuh 7,4 persen.
Hasil untuk kuartal pertama dan kedua pada tahun 2015 ini menunjukkan pertumbuhan juga melambat menjadi 7,0 persen.
Angka pertumbuhan PDB 7,0 persen untuk kuartal April-Juni, yang sama dengan target resmi pemerintah “sekitar 7,0 persen”, mengejutkan kalangan ekonom mengingat beragam komponen data selama periode itu pada umumnya lemah.
Jumlah yang ditargetkan, yang diumumkan pada Maret, merupakan pengurangan dari tujuan tahun lalu sekitar 7,5 persen, dan dilihat oleh para ekonom sebagai pengakuan resmi akan kebutuhan pertumbuhan yang melambat.
Tiongkok telah lama menghadapi tuduhan bahwa data pertumbuhan ekonomi sebenarnya lebih rendah dibandingkan data yang ditampilkan pemerintah, pandangan yang kini mulai merebak kembali.
Otoritas Tiongkok telah mengakui bahwa pertumbuhan PDB dobel digit seperti yang dicapai pada masa lalu tidak bisa dipertahankan seiring ekonomi negara itu yang menjadi lebih matang dan telah terpaku kepada model pertumbuhan “kenormalan baru” yang membuat pembelanjaan konsumen sebagai penggerak utama.
Artikel ini ditulis oleh: