Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Deddy Zulverdi menilai ilusi level nilai tukar dengan memberikan batas-batas psikologis rupiah pada level tertentu merupakan “penyakit” irasional.
“Ini memang ‘penyakit’ yang irasional. Karena, ketika nilai tukar melemah dari Rp9.500 ke Rp9.600 per dolar AS, itu Rp100 naiknya atau kalau secara persen sekitar 1-1,1 persen, kita tenang-tenang ‘aja’. Tapi ketika nilai tukar melemah dari Rp9.975 menjadi Rp10.000 per dolar AS, naik Rp25 atau 0,1-0,2 persen, orang langsung panik,” ujar Doddy dalam sebuah diskusi di Jakarta, ditulis Kamis (27/8).
Begitu pula ketika rupiah terus bergerak naik dari Rp10.000 per dolar AS hingga kini mencapai Rp14.000 per dolar AS, menurut Doddy, orang-orang mencari batas-batas psikologis baru yang sebenarnya tidak rasional.
“Yang kita kalkulasikan persentasenya, hubungannya dengan ‘cost’ dan yang lain. Masalah irasionalitas ini kemudian menimbulkan kesulitan tersendiri bagi BI,” kata Doddy.
Doddy melanjutkan, di saat batas-batas psikologis itu muncul, bank sentral yang seharusnya tidak perlu merespons dalam bentuk intervensi pun akhirnya melakukan.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga sentimen positif di dalam negeri kendati di sisi lain sentimen negatif dari ekonomi global sulit untuk dilawan. Sentimen negatif sendiri dialami semua negara, jadi tidak spesifik hanya di Indonesia.
“Jadi ini penting sekali bagaimana kita mengaitkan, menjaga ‘confidence’ dan menghilangkan irasionalitas yang tidak perlu itu tadi. Dibandingkan dengan negara lain, pelemahan kita tidak terlalu buruk,” ujar Doddy.
Berdasarkan kurs JISDOR BI pada Rabu rupiah kembali melemah menjadi Rp14.102 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp14.067 per dolar AS.
Artikel ini ditulis oleh: