Jakarta, Aktual.co —Bagi wisatawan Muslim yang hendak berpegian ke Israel, hendaknya, yang perlu diperhatikan benar yakni panduan kuliner yang terpadapat di negara tersebut.

Warga Yahudi sendiri peduli makanan ‘halal’ yakni sejak tahun 1967 silam. Negara Zionis ternyata gencar meluaskan peraturan-peraturan makanan orang Yahudi serupa dengan orang Islam dengan sebutan halal.

Namun demikian, perbedaan Kosher dan halal pun jelas terlihat berbeda. Sehingga bagi orang Yahudi, begitu pentingnya kosher hingga mereka pun membentuk club-club Kosher seperti di Amerika.

Sementara itu, ‘kosher’ bagi Yahudi dalam terminology bahasa adalah makanan atau hewan yang boleh dimakan atau dikonsumsi. Sementara itu, sebutan lain dari kosher adalah “Kashrut”, atau “Kasher”. Sedangkan, lawannya yang tidak boleh dimakan disebut “trefa atau trayfah”.

Kosher dalah istilah dalam hukum tentang makanan agama Yahudi. Sesuai dengan halakha (hukum Yahudi) suatu makanan disebut kosher (istilah bahasa Inggris, dari istilah bahasa Ibrani kasher, yang berarti “layak” (dalam konteks ini berarti layak untuk dimakan orang Yahudi).

Kemudian apa perbedaan antara ‘kosher’ dengan ‘halal’ dalam Islam?
Bila dilihat sekilas nampak adanya kesamaan. ‘Kosher’, ‘kashut atau ‘kasher’, adalah suatu produk yang boleh dimakan. Sedangkan ‘trefa’ atau ‘trayfah’, adalah jenis produk yang dilarang dikonsumsi. Hal ini mirip dengan pengertian halal-haram dalam agama Islam.

Misalnya lagi, kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan (sapi, kambing, domba, dan lain-lain) harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas.

Karena kemiripan pengertian dua istilah itu, maka orang-orang Yahudi mempromosikan bahwa ‘kosher foods’ adalah makanan yang halal bagi Muslim. Karena sudah ada sertifikat ‘kosher’, maka tidak perlu lagi sertifikat halal untuk produk tersebut.

Pengertian ini kemudian dikampanyekan dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, konsumen ‘kosher foods’ jauh melebihi jumlah konsumen pemeluk Yahudi Ortodok, yang menghendaki makanan ‘kosher’. Hal ini disebabkan karena kaum Muslim dan Kristen Advent juga ikut menjadi konsumen makanan kosher.

Wajar, jika kaum Yahudi hingga kini sangat gencar memperkenalkan ‘kosher foods’ ke segenap penjuru dunia, dengan sasaran utama umat Islam. Dengan demikian posisi tawar sertifikasi ‘kosher’ semakin meningkat di mata para produsen makanan.

Selanjutnya, masyarakat Yahudi begitu kritis dan peduli terhadap kosher ini, sehingga adanya produk pangan yang tidak bersertifikat kosher akan ditolak mentah-mentah, baik yang masuk ke negara Israel maupun yang dikonsumsi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia.

Meskipun sekilas mirip antara halal dan kosher, sebenarnya keduanya berbeda. Ada barang haram yang masuk kategori kosher, sebaliknya ada juga makanan halal yang masuk dalam kategori treyfah.

Sebagai contoh, daging tetap kosher, meskipun proses penyembelihannya tidak menyebutkan nama Allah (Jehovah Elohim). Mereka berkeyakinan bahwa tidak pantas menyebut nama Tuhan yang Suci di tempat penyembelihan hewan yang kotor (rumah potong hewan).

Dari keterangan di atas jelaslah, bahwa sebutan ‘halal’ berbeda dengan ‘kosher foods’ milik Yahudi. Keduanya berangkat dari landasan filosofis dan ideologis yang berbeda. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mendorong pasar konsumen Muslim yang lebih optimis terhadap produk-produk halal yang nilainya terus meningkat di seluruh dunia.

Artikel ini ditulis oleh: