Jakarta, Aktual.com — Pemerintah memang belum memutuskan Jepang atau China sebagai pemenang proyek pembangunan kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung. Namun, jika dilihat dari kriteria yang dikatakan beberapa menteri bahkan Presiden Jokowi, mulai terlihat siapa pemenang proyek yang akan diumumkan pada Senin, 7 September 2015.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tidak akan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Kalau saya yang milih maka kriterianya cuma satu, kereta cepat tidak boleh pakai APBN,” kata Bambang ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (3/9).
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga menegaskan proyek kereta cepat tidak boleh pakai Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, hanya proyek-proyek pembangunan kereta di luar Pulau Jawa yang memakai APBN.
“Harus pakai swasta, tidak boleh pakai APBN. Saya stempelnya itu,” tegas dia.
“Begini ya, kereta cepat itu tidak memakai uang APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dari investasi (investor),” ungkap Jokowi beberapa waktu lalu.
Jika “Tidak Memakai APBN” menjadi kata kunci pemerintah dalam penentuan pemenang proyek tersebut, maka jelaslah sinyal kuat pemerintah berada di pihak China ketimbang Jepang.
Pasalnya, tawaran China dalam proyek kereta cepat ini tidak melibatkan APBN secara langsung. Sementara, skema pembiayaan dari pihak Jepang ada potensi masuknya uang pemerintah dari APBN.
Pihak Jepang menawarkan biaya proyek kereta cepat Shinkansen E5 hingga 6,223 miliar dolar AS, atau sekira Rp87 triliun. Tawaran Jepang ini lebih mahal daripada China untuk kereta cepat CRH 380A senilai USD5,585 miliar atau sekira Rp78 triliun.
Tawaran Jepang dalam pembiayaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini berasal dari tiga sumber, yaitu: anggaran pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan swasta atau business entity (SPV). BUMN berperan sebagai pengembang proyek (project development), sedangkan swasta sebagai pelaksana proyek (project operating).
Jepang punya empat skenario pembiayaan yang seluruhnya melibatkan dana pemerintah, BUMN, dan swasta. Pada skenario pertama, pemerintah berperan dalam pembiayaan hingga 16 persen yang berasal dari pinjaman dan modal. Lantas, BUMN mengambil peran pembiayaan hingga 74 persen mencakup modal dan pinjaman. Sementara itu, peranan swasta mencapai 10 persen yang terdiri dari modal dan pinjaman.
Pada skenario kedua, peranan pemerintah tetap 16 persen. Kemudian, BUMN sebesar 70 persen, swasta sebanyak 14 persen.
Skenario ketiga, peranan pemerintah tetap 16 persen, BUMN sebesar 60 persen, dan swasta sebanyak 24 persen. Skenario keempat, peranan pemerintah 6 persen terhadap pembiayaan, BUMN tak ada, dan sebanyak 94 persen ditanggung swasta.
Selain itu, proses pengerjaan proyek kereta cepat meliputi 3 tahapan:
Pertama, fase persiapan yang mencakup pembebasan lahan, pembiayaan awal, dan kelembagaan yang dikerjakan oleh pemerintah.
Kedua, fase konstruksi mencakup konstruksi, instalasi, pengadaan kereta, pra pengoperasian dikerjakan oleh BUMN atau swasta.
Ketiga, operasi mencakup pengoperasian dan perawatan mencakup BUMN atau swasta.
Jadi, apakah benar pemerintah akan memihak China ketimbang Jepang untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung? Kita tunggu saja pekan depan.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka