Jakarta, Aktual.com — Deputi Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Arif Havas Oegroseno menyatakan jumlah kasus penangkapan ikan ilegal di Indonesia telah berkurang bila dilihat dari jumlah cadangan BBM kapal, jumlah kapal yang tidak lagi beroperasi dan jarak pelayaran para nelayan di daerah.

“‘Illegal fishing’ sudah berkurang di wilayah kita, hitungannya gampang, lihat saja dari jumlah stok BBM kapal saat ini,” kata Arif pada Konferensi Berkala ke-13 para Perwakilan Negara Anggota Network of East Asia Think-Tanks (NEAT) di Bandung, Rabu (9/9).

Ia mengatakan Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun lalu telah memberi lisensi pada 1.200 kapal berbobot lebih dari 30 gross ton (GT). Namun jumlah kapal ilegal tanpa lisensi yang beroperasi jumlahnya mencapai lima kali lipat kapal legal.

“Kapal-kapal itu beli BBM di mana lagi kalau bukan di Indonesia? Kemarin Pertamina menyatakan bahwa mereka mendapat peningkatan ‘reserve’ (cadangan) BBM, ini mengindikasikan bahwa kapal-kapal ‘illegal fisher’ tersebut tidak lagi membeli BBM di sini,” kata dia.

Ia juga menyatakan, indikasi kedua berkurangnya penjarah ikan ilegal dapat dilihat dari jumlah kapal yang beroperasi mulai berkurang.

“Kita punya aparat perwakilan dan tim monitor di pantai-pantai negara tetangga seperti Thailand, ternyata di sana banyak pabrik kapal yang tutup dan banyak ditemukan kapal-kapal yang berkerak, tak lagi dipakai,” kata pria yang juga sempat menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) ini.

Sementara itu indikasi ketiga menurutnya dapat diidentifikasi dari jarak pelayaran para nelayan ikan di daerah-daerah.

“Nelayan di Papua misalnya, mereka sekarang melaut tidak jauh, hanya dua mil sudah dapat ikan dalam jumlah besar, nilai tukar nelayan juga bertambah,” katanya.

Menurut dia, masalah pencurian ikan adalah masalah non tradisional yang tengah dihadapi tak hanya Indonesia, melainkan juga negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara.

“Negara-negara di Asia Pasifik adalah negara yang makmur, kaya dan berkembang tetapi di sisi lain bidang maritimnya masih mengalami masalah abad ke-19 seperti pembajakan, resiko navigasi, dan konflik perbatasan antar negara,ini kondisi yang paradoks,” kata dia.

Masalah non tradisional lain, kata dia, antara lain adalah gangguan alam seperti peningkatan kenaikan permukaan air laut, kerusakan terumbu karang, masalah perdagangan manusia dan penyelundupan manusia serta senjata juga obat-obatan terlarang.

“Masalah maritim adalah kepentingan dan masalah bersama,” kata dia.

Ia berharap, melalui kerjasama pertama kalinya antar negara-negara ASEAN plus three di bidang maritim yang diinisiasi Indonesia ini, masing-masing negara dapat mengelola konflik kemaritiman dengan damai untuk mencegah terjadinya ekskalasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka