Agenda Pembangunan dan Jebakan Slogan
Sebagai respon terhadap kondisi objektif dan tantangan yang menghadang, akhir-akhir ini wacana pembangunan disibukkan dengan tiga kata kunci, industri, teknologi, dan sumberdaya manusia (SDM). Arus balik perhatian orang terhadap masalah ini amat melegakan, namun sekaligus bukan tanpa bahaya. Ketiga istilah itu lebih sering digunakan sebagai slogan ketimbang dipahami, sebagai fashion ketimbang praktis, dan sebagai jargon politik ketimbang cetak-biru untuk bertindak.
Bahwa kita sering latah dengan istilah-istilah “besar“ yang tidak kita pahami benar medan maknanya, adalah kebiasaan buruk yang memperdayakan. Sementara kita sibuk mempersiapkan kurikulum pendidikan yang link and match dengan tantangan industrialisasi, pengertian industrialisasi itu sendiri masih samar-samar kita pahami makna dan cakrawalanya. Yang sering tersimpul dari aneka wacana di sekitar kita, terkesan bahwa industrialisasi itu sebangun dengan fungsi masukan dan perkembangan teknologi.
Dalam definisi seperti itu, tantangan industrialisasi dinisbatkan menjadi sekadar bagaimana cara memperoleh dan mengembangkan teknologi yang terintegrasi ke dalam proses-proses produksi. Dan dengan demikian, pendidikan berorientasi industri berarti pendidikan yang sanggup memasok “suku cadang” siap pakai (siap latih) bagi perputaran roda mesin dan laju produksi.
Dengan reduksionisme serupa itu, industrialisasi diperlakukan sebagai jagat mesin yang tidak terintegrasi ke dalam kerangka formasi institusional dan proses-proses sistem kemasyarakatan. Padahal, seperti ditunjukkan sejarah Eropa Barat dan Amerika Serikat, proses industrialisasi dan pembentukan masyarakat industri selalu berjalan berkelindan. Bahkan menurut Jurgen Habermas (1990), terdapat hubungan yang signifikan antara formasi kerangka institusional dan bentuk integrasi sosial baru dengan laju perkembangan teknologi dan produksi, dimana perkembangan yang terakhir justru terjadi kemudian setelah adanya reformasi “sosial budaya”.
Kalaupun sejarah Eropa Barat dan AS ini tidak persis sama dengan Indonesia, setidak-tidaknya ada hal yang bisa disimpulkan, bahwa selain gejala teknologis, industrialisasi pun harus dipandang sebagai gejala sosio-kultural. Dan sebagai gejala terakhir ini, transformasi masyarakat menuju industrialisasi biasanya mensyaratkan adanya perubahan-perubahan mendasar dalam kultur dan struktur kemasyarakatan, seperti ditandai oleh: (a) terjadinya pembagian kerja (division of labour) dalam proses produksi; (b) proses rasionalisasi kultural dan wawasan yang serba berperhitungan, terutama yang menyangkut etos kerja; (c) diterapkannya sistem mekanisme dalam proses produksi; (d) aplikasi cara pemecahan masalah secara universal dan ilmiah; (e) penerapan disiplin waktu dalam bekerja dan cara pengupahan dengan tarif bertingkat-tingkat guna memberi rangsangan kerja; (f) birokrasi dan administrasi yang rasional dan menurut aturan-aturan tertentu; (g) adanya tenaga kerja yang mudah berpindah (mobile) secara sosial maupun geografis; serta (h) tumbuhnya semangat berproduksi itu sendiri (Schneider, 1986; Rahardjo, 1995).
Dengan memperhitungkan konteks sosial-budaya dari proses industrialisasi, menjadi jelas bahwa transformasi menuju masyarakat industri tidak hanya mensyaratkan adanya perubahan-perubahan sistem reproduksi material, yang berintikan penguasaan dan pemanfaatan aspek-aspek keteknikan, tetapi juga perubahan-perubahan sistem reproduksi ideasional dan tata nilai yang mengusungnya. Itu juga berarti bahwa visi pendidikan yang berorientasi industri tidak hanya dituntut untuk mengembangkan keahlian (keterampilan), tetapi juga ditantang untuk dapat mengembangkan sikap-kejiwaan yang menopang daya cipta, etos kerja, kreativitas inovatif, disiplin, keteraturan, dan perencanaan.
Dikatakan dengan cara lain, bahkan ketika misi pendidikan disusutkan menjadi sekadar penyokong proses industrialisasi sekalipun, pengajaran dan wawasan sosial-budaya menjadi tak bisa diremehkan. Apalagi jika kita memperhitungkan apa yang pernah diingatkan Soedjatmoko (1987), bahwa hampir semua keputusan pembangunan (apalagi pilihan industrialisasi) akan mempunyai akibat-akibat etis dan kemanusiaan, yang dalam jangka panjang akan sangat menentukan. Sehingga kesadaran akan arah moral, serta kemampuan untuk mengharmonikan aspek-aspek technosphere dan sociosphere, menjadi kunci penentu kinerja pembangunan masa depan.
Miskonsepsi tentang Teknologi
Barangkali masih bisa dimaklumi jika orang mendefinisikan industrialisasi semata-mata sebagai fungsi masukan dan perkembangan teknologi. Tetapi, masalahnya, pemahaman terhadap istilah teknologi itu sendiri seringkali sama reduksionistiknya seperti istilah industrialisasi. Teknologi acapkali diidentikkan sebagai “alat” (tools). Dengan memandang teknologi melulu sebagai alat (mesin), konsentrasi pengembangan SDM berwawasan teknologi dan industri kemudian ditekankan secara berlebihan kepada bidang-bidang keteknikan.
Padahal, seperti dikatakan oleh Johan Galtung:
Adalah naif memandang teknologi sebatas persoalan hardware, keterampilan, dan software belaka. Komponen-komponen ini memang penting, tetapi hanya sekadar tampilan permukaan, seperti penampakan puncak gunung es. Teknologi juga menyangkut struktur terkait, bahkan struktur terdalam, kerangka mental, kosmologi sosial, yang berperan sebagai ladang subur dimana benih-benih pengetahuan tertentu bisa tertanam, tumbuh dan membangkitkan pengetahuan baru. Dan agar suatu alat bisa dioperasikan secara baik, struktur perilaku tertentu dibutuhkan. Alat-alat tidaklah beroperasi di ruang vakum; mereka adalah man-made dan man-used yang memerlukan pengelolaan sosial tertentu agar bisa dioperasikan (dalam Tehranian, h. 6).
Ditambahkan oleh Norman J. Vig (1988, h. 10), bahwa tersebar-luasnya adopsi teknologi lebih mendorong perluasan definisi dan konseptualisasinya. Teknologi tidak bisa lagi didefinisikan hanya sebatas stok kumulatif dari alat, mesin, dan pelbagai artifak lainnya (“technic” dari peradaban modern), tetapi bisa juga diartikan sebagai cara tertentu untuk mengetahui dan mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, teknologi lebih dari sekadar pengetahuan terapan atau rekayasa seperti dalam pemahaman dunia akademik tradisional. Melainkan dapat dipandang sebagai pendekatan universalistik dalam pemecahan masalah (“technique”), dan menurut sebagian teoris, ia juga berarti suatu imperatif yang berhubungan dengan organisasi rasional dari perilaku sosial.”
Lebih lanjut, Edward Wenk, Jr. (1986, h. 7) menegaskan bahwa teknologi merupakan sistem sosial yang didorong oleh spesialisasi pengetahuan dan melibatkan seluruh institusi sosial berikut jalinan komunikasinya. “Sebagai proses sosial, teknologi berhubungan dengan masyarakat, nilai, pilian politik dan keterkaitan di antara ketiga unsur tersebut.“
Seperti mengkristalisasi pandangan-pandangan di atas, The Asian and Pacific Centre for Transfer of Technology (APCTT) merumuskan setidak-tidaknya ada empat komponen teknologi; technoware (unsur perangkat keras), infoware (unsur informasi), humanware (unsur sumberdaya manusia) dan organware (unsur manajemen dan lingkungan sosial). Keempat komponen ini mesti berjalan berkelindan; yang satu melengkapi yang lain, membangun ruang jajaran genjang yang seimbang. Sehingga yang dimaksud dengan temuan-temuan inovatif dalam pengembangan teknologi, tidak hanya sebatas sukses-sukses temuan baru keteknikan, tetapi harus didukung oleh kehandalan aspek-aspek lainnya, sehingga sanggup membawa temuan-temuan tersebut kepada kesempatan pasar dan penerimaan sosial dengan daya saing dan daya akseptabilitas yang tinggi.
Jika definisi APCTT dijadikan pedoman, akan tampak bahwa upaya pengembangan teknologi tidak bisa hanya bertumpu pada bidang studi keteknikan. Sebab bidang ini hanya memenuhi sebagian pilar yang diperlukan, terutama yang berkaitan dengan penyediaan sumberdaya manusia terampil untuk penguasaan technoware, dan aspek-aspek tertentu dari infoware. Sementara tuntutan lainnya yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap-kejiwaan dari sumberdaya manusia, pengolahan informasi serta kemampuan manajemen dan penciptaan kondisi sosial yang kondusif, lebih cenderung berada di domain ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dengan kata lain, penguasaan teknologi tidak hanya memerlukan pendidikan techno-engineering, tetapi juga socio-engineering. (bersambung)
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual