Miskonsepsi tentang Pengembangan SDM
Ditinjau dari perspektif ketenagakerjaan, industrialisasi itu tak lain merupakan fungsi dari diferensiasi kerja dalam proses produksi. Adapun diferensiasi itu sendiri didasarkan pada kebutuhan dan keahlian pekerja pada bidangnya masing-masing, yang secara sinergis mendukung total kinerja industrial.
Itu berarti, esensi sesungguhnya dari konsep pendidikan “siap pakai” tak lain adalah upaya revitalisasi lembaga-lembaga pendidikan sebagai ajang pendalaman dan aktualisasi aneka bakat dan minat anak didik hingga mencapai taraf dalam bidang dan predisposisinya masing-masing. Sehingga pada gilirannya, mampun memasok pelbagai kebutuhan dan tantangan industrial.
Dengan demikian, mestinya, tidak ada perbedaan yang mendasar antara konsep pendidikan link and match dengan konsep holistic education. Dalam konsep yang terakhir ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang dikaruniai potensi intelegensia yang beraneka; dan oleh karena itu, tugas pendidikan adalah memfasilitasi dorongan individu untuk mengaktualisasikan potensinya masing-masing.
Dengan berpegang pada teori “multiple intellegences”-nya Howard Gardner (1983), setidak-tidaknya ada tujug jenis intelegensia yang semuanya jarang dimiliki dalam diri seorang: (1) logical-mathematical intellegence; (2) linguistic intellegence; (3) musical intellegence; (4) bodily-kinesthetic intellegence; (5) spatial intellegence; (6) personal intellegence (to understand ourselves); dan (7) social intellegence.
Dari ketujuh jenis intelegensia itu, yang kita muliakan sebagai ukuran kualitas sumberdaya manusia selama ini lebih sering tertuju hanya pada logical-mathematical intellegence. Padahal kesemuanya itu adalah daya-daya insaniah yang punya tempat dan kontribusinya sendiri-sendiri dalam kehidupan, dan bahkan dalam struktur industrialisasi.
Pengutamaan secara berlebih-lebihan terhadap jenis intelegensia ini, biasanya dilandaskan pada argumen-argumen pragmatisme: bahwa tumpuan daya saing dan kesempatan kerja di masa depan sangat mengandalkan penguasaan teknologi. Di sini, teknologi lagi-lagi disalahartikan. Ada kesan bahwa yang diperlukan dalam proses ini adalah logika matematika dan keterampilan teknis semata. Proses pendidikan kemudian disusutkan menjadi sekadar persoalan kejuruan. Pengolahan daya intelektual disusutkan, pembudayaan sikap kritis ditumpulkan.
Obsesi keterpakaian ini memang tidak salah. Bahkan kampus-kampus di Amerika, lantaran terimbas oleh resesi ekonomi dan inflasi yang membubung sejak era 70-an, tersihir juga oleh godaan ke arah apa yang disebut dengan “the New Vocationalism”. Tetapi respon Amerika terhadap tantangan ini sungguh berbeda secara diametral dengan apa yang muncul di sini. Dalam kesadaran para pendukung vokasionalisme baru di Amerika, hal yang paling krusial untuk segera ditangani dalam kaitannya dengan desakan pragmatisme ini justru perlunya perluasan pengajaran budaya menulis (writing) dan mengarang (composition). Kendati tujuan pengajaran literasi dalam konteks ini lebih berorientasi vokasional, tetapi ada argumen mereka yang perlu kita renungkan: “Krisis budaya literasi pada gilirannya akan memperlemah daya saing Amerika” (Wlad Godzich, 1994).
Bagi mereka, basis utama daya saing itu tidak terletak pada keterampilan teknis semata, tetapi justru pada upaya revitalisasi sistem reproduksi ideasional. Tilikan ke arah ini adalah rasional. Bukankah telah sering disebutkan, bahwa revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa perubahan yang radikal dalam kinerja dunia kerja. Makin eratnya kaitan antara hasil-hasil litbang iptek dengan kegiatan sektor produksi, dan juga kian padatnya kandungan pengetahuan dan teknologi di sektor produksi itu sendiri, akan membawa perubahan yang signifikan dalam postur perusahaan dan struktur ketenagakerjaan.
Yang akan terjadi adalah proses transformasi dari tekanan pada “volume tinggi” (high volume) menuju “nilai tinggi” (high value). Dalam posturnya yang terakhir ini, perusahaan tidak lagi mengandalkan keuntungan pada skala dan volume, melainkan pada penemuan secara berkesinambungan dalam rantai hubungan antara pemecahan dan kebutuhan. Tantangannya di sini bukan lagi masalah volume atau harga, namun pada keterampilan dalam menemukan padanan yang tepat antara teknologi tertentu dengan pasar tertentu. Sehingga fokus utama dari perusahaan ini tidak lagi pada produk semata, tetapi lebih berpusat pada spesialisasi pengetahuan.
Kualifikasi sumberdaya manusia yang memenuhi tantangan ini bukan berbasis pada kemampuan teknis, melainkan pada kemampuan beradaptasi secara berkesinambungan dengan proses-proses pemecahan masalah, dan dalam aktivitas layanan strategis. Tenaga-tenaga handal dalam bidang ini sangat dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas penelitian secara terus-menerus, guna menemukan model aplikasi baru, kombinasi baru, dan peningkatan kemampuan untuk memecahkan aneka problema yang muncul (Reich, 1992).
Pembacaan tersebut disertai pemahaman mengenai trend perkembangan teknologi yang makin memperpendek siklus produk dan jarak antarnegara. Sebab perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi memberi kita suatu wawasan, bahwa yang paling kita butuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan bukanlah pabrik “batu bata”, tetapi justru proses penempaan “tanah liat”; bukan manusia teknis siap-pakai, melainkan manusia yang berdaya adaptasi tinggi, punya visi ke depan dan memiliki semacam asketisme dalam kerja.(bersambung)
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual