Basis Kultural Pengembangan Iptek

Apa yang telah diuraikan di atas memberi kita ufuk kesadaran lain, bahwa upaya pengembangan industri, iptek dan SDM, tidak bisa diceraikan dari dimensi-dimensi sosio-kultural.

Pemahaman demikian memperoleh basis teoretisnya antara lain pada Talcott Parsons (1954). Menurutnya, perubahan sosial melibatkan tiga aspek: sistem kepribadian para pelaku sosial, sistem budaya, dan sistem sosial. Idealnya, ketiga unsur itu berjalan seiring, sehingga membentuk sebuah integrasi. Namun, sering terjadi ketiga aspek tersebut saling mendahului atau malah tidak saling mendukung. Ada kemungkinan ketiganya saling terkait tetapi juga ada kemungkinan saling tidak tergantung. Sebuah rekayasa sosial sesungguhnya diperlukan untuk membuat ketiga aspek tersebut saling mendukung, bukan sebaliknya.

Perubahan ke arah masyarakat industri yang berpenguasaan teknologi, mestinya memperhatikan pengembangan aspek-aspek tersebut. Studi-studi di sekitar dimensi-dimensi sosial-budaya dari pengembangan teknologi dan industri, bahkan dapat dikatakan merupakan cikal-bakal dari studi sosiologi. Dalam ungkapan D. Eleanor Westney (1987, h. 9), kondisi yang diperlukan bagi transformasi industri adalah pengembangan struktur sosial-budaya yang kondusif yang sanggup memfasilitasi usaha individu yang beraneka dan terspesialisasi.

Kesadaran ini telah tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 (versi Amandemen Keempat), seperti termaktub dalam pasal 31 ayat 5, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Setidaknya ada dua hal penting yang bisa digarisbawahi dari pasal tersebut. Pertama, menyadari semakin pentingnya peranan iptek dalam kerangka pencapaian kesejahteraan kemajuan dan kemandirian bangsa, maka upaya pemanfaatan pengembangan dan penguasaan iptek merupakan misi nasional yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kedua, kesadaran bahwa betapapun pentingnya hal itu, dalam proses pengembangannya sama sekali tidak boleh tercerabut dari akar-akar budaya bangsa.

Pernyataan terakhir ini mempertautkan masalah pengembangan iptek dengan keharusan untuk memeriksa fondasi kultural yang menjadi jagat hidupnya. Dan ini sesungguhnya merupakan tema klasik yang terus relevan untuk dibicarakan.

Tetapi, ada hal yang harus dijernihkan. Membelah kategori konseptual antara iptek dan kebudayaan, sebenarnya agak sulit dilakukan. Sebab jika kebudayaan itu kita pahami sebagai sistem nilai, sistem simbol, dan sistem reproduksi ideasional, serta seluruh aktivitas dan kristalisasi segala upaya manusia untuk menjawab tantangan hidupnya, dan kesemuanya itu kemudian diolah dan ditafsirkan kembali untuk memperoleh maknanya melalui suatu proses dialektis yang tak pernah mengenal titik henti, maka tak pelak lagi iptek merupakan bagian inti dari seluruh proses tersebut. Dalam hal ini, iptek merupakan langkah terakhir dalam perkembangan mental manusia dan boleh dianggap sebagai pencapaian tertinggi dan paling karakteristik dalam kebudayaan manusia (Cassirer, 1990, h. 315).

Namun, untuk sementara, boleh kita katakan bahwa jika kebudayaan kita pandang sebagai suatu genus atau set, maka iptek adalah spesies atau subsetnya. Dan kaitan antara genus dan spesiesnya ini merupakan hubungan organis yang saling memberi dan menerima. Dalam rumusan William W. Lowrence (1985), ilmu dan teknologi mempengaruhi nilai-nilai budaya, sebaliknya budaya mempengaruhi kinerja teknologi. Ilmu dan teknologi tidak bisa tumbuh subur tanpa topangan budaya yang kondusif, sebaliknya kebudayaan dan masyarakat tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung oleh perkembangan yang sehat dari ilmu dan teknologi.

Dilihat dari perspektif ini, iptek bukanlah suatu hipotesa yang lepas dari pengaruh faktor-faktor budaya lain. Sebagai salah satu produk kebudayaan, iptek dapat menjalankan fungsinya dengan tepat apabila diletakkan dalam konteks sosial-budaya yang tepat pula. Ann Johston dan Albert Sasson (1986), lewat penelitiannya terhadap kegemilangan perkembangan iptek di Cina sejak abad pertama hingga ke-15, menyimpulkan bahwa pada zaman-zaman tertentu selalu ada bangsa yang lebih unggul dari bangsa lain dalam pemanfaatan dan pengembangan iptek.

Dalam banyak kasus, hal ini terpulang ada seberapa besar dukungan infrastruktur budaya dalam pengembangan iptek tersebut. selanjutnya keduanya mengatakan, “Teknologi memang besar pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi dan sejarah. Tetapi teknologi itu sendiri merupakan produk dan ekspresi budaya suatu masyarakat pada suatu zaman. Oleh karena itu, boleh jadi suatu bentuk inovasi yang sama akan melahirkan hasil berbeda, disebabkan oleh konteks sejarah dan budayanya yang berbeda pula.”

Berpikir dalam kerangka ini, William W. Lowrence yakin bahwa iptek bisa diabadikan pada kebutuhan hidup manusia, sejauh orang-orang mau mengakui kekuatan yang makin meningkat dari interaksi antara iptek dengan masyarakat dan nilai-nilai yang ada padanya. Iptek sebagian mempengaruhi nilai-nilai manusia, demikian pula sebaliknya. Untuk itu, setiap upaya pengembangan iptek perlu memperhitungkan secara cermat interaksi antara nilai-nilai budaya dengan kemampuan iptek itu sendiri.

Ditambahkan oleh Louven, “Setiap teknologi memiliki dan tertanam dalam nilai-nilai dan cita-cita dari masyarakat di mana ia dikembangkan. Sehingga setiap pengeksplorasiannya secara implisit mengadakan pengeksplorasian nilai-nilai baru, menurut sikap masyarakat yang bersangkutan” (dalam Susanto, 1991, h. 15).

Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa maju-mundurnya perkembangan iptek pada suatu masyarakat, akan sangat erat kaitannya dengan kondisi-kondisi budaya yang mengelilinginya (Poespowardojo, 1993).

Pernyataan tersebut juga didukung terutama lewat penelitian-penelitian sosial dalam tradisi Weberian. Dalam skala luas, sejak Max Weber (1881-1961) “menemukan” adanya kaitan antara Etika Protestan dengan perkembangan kapitalisme, penyelidikan sejenis telah diikuti oleh banyak ilmuwan. Misalnya Robert N. Bellah (1985), dengan fokusnya di sekitar agama Tokugawa dalam kaitannya dengan semangat berusaha kaum Samurai di Jepang; David C. McClelland (1961), tentang hubungan antara motif berprestasi dengan jatuh-bangunnya kota Florence, Italia; Tu Wei-Ming (1984), tentang hubungan etika Confusian dengan industrialisasi Singapura; bahkan sampai Clifford Geertz (1963) dan L. Peacock (1978), yang melakukan kajian sejenis di Indonesia (dalam Kuntowijoyo, 1994, h. 211).

Dalam lingkup yang lebih sempit, sejauh dikaitkan dengan hubungan antara kultur yang berlaku dalam masyarakat ilmiah dengan laju pertumbuhan iptek, temuan-temuan Robert K. Merton (1942), misalnya, bisa dikedepankan. Ia mengemukakan perlunya syarat-syarat tertentu guna menjamin efisiensi dan pertumbuhan ilmu, yang disebutnya sebagai “etos atau basis struktur normatif ilmu pengetahuan.” Nilai-nilai tersebut antara lain: (1) semangat berbagi informasi; (2) menempatkan kebenaran di atas kepentingan perseorangan; (3) menyerahkan keputusan mengenai validitas sesuatu pada pengujian empiris dan teoretis, tanpa menghiraukan status dan reputasi dari sumber pengetahuan; dan (4) terbuka bagi pelbagai karakteristik personal dan sosial.

Model Merton juga menyatakan, sebagai institusi sosial, iptek memiliki sasaran. Untuk mencapainya, saintis-baik sebagai individu atau kelompok-mesti menyesuaikan diri dengan kode-kode tingkah laku tertentu. Jika nilai dan norma ini tidak diindahkan, hal itu akan membawa konsekuensi negatif bagi perkembangan iptek. Ditambahkan juga oleh S.B. Barnes dan R.G.A. Dolby (1970), pada dasarnya, etos dalam ilmu pengetahuan itu tidak berbeda dari institusi sosial pada umumnya (dalam Gaston, 1980).

Penelitian-penelitian ala Weberian ini sudah banyak dikritik. Tetapi, ajaibnya, peminatnya terus bertambah, cakupan kian luas, dan analisisnya pun makin tajam. Penelitian mutakhir dalam jalur ini antara lain dilakukan oleh Charles Hampden-Turner dan Alfons Trompernars (1993). Melalui penelitiannya terhadap 15.000 manajer dari negara-negara industri maju (terutama Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Jerman, Jepang, dan Belanda), untuk melihat peranan sistem nilai dalam menciptakan kemakmuran, mereka berkesimpulan bahwa nilai, kebiasaan, dan style budaya yang biasanya dikaitkan dengan pembangunan sosial, ternyata merupakan bahan-bahan penting bagi keberhasilan ekonomi dan industri.

Selanjutnya mereka menambahkan, bukanlah suatu kebetulan jik aketujuh negara tersebut memiliki ciri dan keunggulan masing-masing dalam perindustriannya: orang Jepang mengembangkan industri yang bisa memaksimalkan keuntungannya dalam memperoleh pengetahuan selain laba; orang Jerman bisa menciptakan tenaga kerja terlatih yang terbaik di dunia dan mencapai standar lingkungan tertinggi; orang Swedia, dengan pengabdian nasionalnya untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi masyarakatnya, bukan sebaliknya, telah mencapai tingkat pengangguran yang paling rendah. Semua memiliki dasar penjelasannya pada nilai-nilai kultural. (bersambung)

 

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual