Jakarta, Aktual.co —  Penolakan atas tekanan terhadap industri hasil tembakau (IHT), khususnya produk rokok kian hari terus mengeras. Pasalnya, industri rokok diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja hingga 6 juta jiwa di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah.
 
Staf ahli wakil Menteri Keuangan, Primanegara menampik bahwa pemerintah sedang mengebiri industry rokok nasional. Tingginya kenaikkan cukai tidak lebih dari kebijakan pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan pendapatan negara, kesehatan, dan keberlangsungan industry itu sendiri.

“Jadi tidak ada niatan pemerintah untuk menghambat industri hasil tembakau,” ujarnya ketika berdiskusi di Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (15/4).
 
Sontak pernyataan tersebut disanggah sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Azis. Dirinya menuding justru kebijakan cukai yang diberlakukan pemerintah saat ini semakin meruntuhkan industry rokok.

“Faktanya, kenaikkan cukai rata-rata sepanjang lima tahun terakhir yang mencapai 16%, mengakibatkan industry rokok banyak yang gulung tikar. Data tahun 2009 jumlah pabrik rokok sebanyak 4.900an pabrik, sekarang tinggal 600an pabrik,” ujarnya.
 
Senada dengan Hasan, dalam diskusi yang diadakan Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) terkait hadir pengamat budaya M Sobari, peneliti kretek Puthut EA, dan staf ahli wakil Menteri Keuangan, Primanegara. Ketua Lembaga Penelitian UMK Mamik Indaryani mengatakan langkah pemerintah saat ini tidak peduli dengan IHT, bukannya mencari keseimbangan. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tercermin dari regulasi yang dihasilkan justru antitembakau.

“Kebijakan itulah yang menggerus industri tembakau,” tegasnya.
 
Kenaikan cukai tidak hanya membatasi pertumbuhan produksi rokok, namun juga memukul industri rokok kecil. Kenaikan cukai menjadi bagian dari biaya produksi karena itu cukai naik jelas akan mendongkrak harga. Sementara, di sisi lain, rokok yang mereka produksi belum tentu bakal laku semua.  

“Akibatnya, pabrik tutup karena kenaikan tarif cukai yang terjadi setiap tahun,” tandasnya.
 
Ia menegaskan, kenaikan cukai dengan argumentasi kesehatan sangat tidak adil karena pastinya akan mengorbankan pihak lain yang tidak terakomodasi kepentingannya. Seharusnya, pemerintah berpikir mendorong daya saing industri tembakau bukan memberangus dengan beragam regulasi.  

“Industri hasil tembakau juga berkontribusi terhadap pendapatan masyarakat, pengurangan masyarakat miskin, bahkan sebagai warisan turun temurun,” tegasnya.
 
Peneliti kretek dari Yayasan Indonesia Berdikari, Puthut EA, menambahkan, sejatinya tudingan rokok mengganggu kesehatan juga layak diperdebatkan. Selama ini, publik disuguhi opini adanya penelitian yang menyatakan rokok tidak sehat.

“Namun, itu hasil riset di luar negeri, dengan tembakau luar negeri, dan yang diteliti jelas rokok putih. Karena itu mari kita bikin riset rokok kretek karena ini tidak pernah dilakukan,” ajak Puthut.
 
Puthut meyakinkan, rokok kretek tidak perlu diberangus. Justru harus diperjuangkan sebagai heritage bangsa Indonesia. Menurut dia, kebiasaan mencampur cengkeh dan tembakau itu sudah dilakukan masyarakat sejak abad ke 18. Namun memperjuangkan rokok kretek menjadi warisan budaya bangsa juga tidak gampang.

“Pemerintah enggan memutuskan rokok kretek sebagai heritage karena dianggap kontroversial,” keluh Puthut.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka