Jakarta, Aktual.com — Keputusan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino memperpanjang konsesi pengelolaan terminal peti kemas di Tanjung Priok kepada Hutchison Port Holding (HPH) diduga telah melanggar Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, karena mengabaikan otoritas pemerintah di pelabuhan sebagai regulator dalam hal ini Menteri Perhubungan sebelum memberi konsesi kepada HPH .

“Saat terminal peti kemas Tanjung Priok di kelola HPH tahun 1999, HPH membayar USD 243 juta. Sekarang HPH membayar USD 215 untuk masa kontrak 20 tahun. Logikanya kan kalau di perpanjang harusnya lebih mahal dengan yang lalu ini malah lebih murah,” kata Ketua Komisi VI DPR Hafiz Tohir dalam perbincangan dengan redaksi saat RDP Panja Pelindo dengan RJ Lino, Rabu (16/9) kemarin.

Hafiz memastikan, Panja Komisi VI DPR akan memanggil semua pihak pihak terkait dan instansi yang sudah di sebut sebut namanya oleh RJ Lino dalam rapat Panja Pelindo. “Bila perlu Panja Komisi VI akan langsung mengunjungi HPH di Hongkong untuk mendalami semuanya. Bila terbukti kebijakan Pelindo memperpanjang konsesi JICT ini melanggar UU termasuk PP 61 tahun 2009 tentang keplabuhanan maka komisi VI tidak akan segan untuk merekomendasikan kebijakan ini untuk di batalkan,” kata Hafiz.

Dia pun meyakini, SDM anak bangsa sanggup untuk mengelola pelabuhan Tanjung Priok sendiri tanpa campur tangan asing. “Ini soal kedaulatan negara, 70 persen jalur distribusi perekonomian kita ada disana jangan sampai perpanjangan ini hanya menjadi motif berbagi keuntungan dengan Hutchison. Panja Pelindo II akan mengusut berbagai keanehan yang terjadi mulai kerugian pengadaan crane, hingga dugaan nepotisme,” kata FPAN ini.

Untuk diketahui, UU No.17 tahun 2008 pasal 82 dan dalam ketentuan peralihan pasal 344 menyebutkan dalam perpanjangan konsesi dengan swasta atau asing, Pelindo II harus membuat kontrak dengan pemerintah melalui Otoritas Pelabuhan. Setelah itu, baru bisa memperpanjang konsesi perpanjangan kontrak JICT.

Dalam hal itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sudah menolak, namun RJ Lino malah ngotot dengan alasan Jamdatun Kejagung membolehkan dalam pendapat hukumnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu