Medan, Aktual.com — Menjejakkan kaki di Pulau Samosir, Sumatera Utara, rasanya tak lengkap jika tidak mengunjungi rumah-rumah Batak Toba warisan Raja Sidauruk di Desa Simanindo, Kecamatan Simanindo, yang hanya berjarak belasan kilometer dari pertigaan gapura desa wisata Tuktuk Siadong.

Betapa tidak, di kompleks yang dilengkapi dermaga bagi kapal- kapal pengangkut wisatawan ini, pengunjung dapat melihat koleksi seni dan budaya masyarakat Batak di Museum yang pernah dikunjungi Ratu Juliana dan Pangeran Benhard dari Belanda pada 8 Juni 1982 ini.

Selain itu, mereka yang datang ke kompleks Huta Bolon Simanindo yang menjadi bagian dari obyek wisata utama yang direkomendasikan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Samosir ini juga dapat menyaksikan pertunjukan pesta adat “Mangalahat Horbo”, “Borotan” dan Gondang Sigale Gale.

Pada Minggu pagi (14/9) itu, wartawan yang menginap di Desa Tuktuk Siadong bergegas ke sana dengan sepeda motor yang disewa dari pemilik Restoran Popys dengan tarif Rp80 ribu per hari untuk mengejar pertunjukan yang pada Minggu dan hari-hari besar hanya digelar sekali, yakni pada pukul 11.45 WIB.

Bagi banyak wisatawan mancanegara dan nusantara yang menginap di kawasan Tuktuk Siadong yang hanya berjarak dua kilometer dari Tomok, lokasi wisata yang terkenal dengan Makam Raja Sidabutarnya ini, menyewa sepeda motor merupakan cara paling praktis dan efektif untuk memulai petualangan di pulau yang berada seribu meter di atas permukaan laut itu.

Dengan menyewa sepeda motor atau pun sepeda, wisatawan dapat lebih leluasa menentukan tujuan serta waktu berangkat dan pulang mengingat sistem transportasi darat antarkota dalam provinsi di pulau yang terbentuk dari hasil megaerupsi Gunung Toba 74.000 tahun silam itu belum memadai.

Setelah mengisi dua liter bensin yang dibeli dari seorang pengecer di tepi jalan Desa Tuktuk Siadong dengan harga Rp9.000 per liter, sepeda motor matik warna merah yang jarum indikator kecepatan maupun volume tanki bahan bakarnya sudah tak lagi bekerja itu pun segera dipacu ke arah Simanindo.

Di sepanjang perjalanan, pemandangan terasa tidak monoton karena yang tampak tidak melulu permukiman penduduk di desa-desa yang dilalui tetapi juga panorama pegunungan Bukit Barisan dengan hamparan Danau Tobanya yang eksotis.

Selain itu, pemandangan lain seperti bangunan kuburan yang megah di tengah ladang, ternak kerbau di hamparan sawah serta kebun kopi, coklat dan palawija warga setempat juga menemani perjalanan ke Simanindo ini.

Dari jalan raya Desa Marlumba dan Simanindo Sakkal, terlihat pula dari kejauhan beberapa keramba jaring apung. Semua yang terhampar di depan mata itu menjadi penanda sebagian jenis pekerjaan dan strata sosial warga masyarakat Samosir. Pada Minggu pagi itu, jalan raya Ambarita-Pangururan tersebut juga diwarnai dengan anak-anak dan orang tua yang berjalan kaki menuju Gereja.

Arus kendaraan relatif sepi di sepanjang perjalanan sejak dari pertigaan gapura Desa Tuktuk Siadong hingga Simanindo sehingga sepeda motor dapat dipacu dengan leluasa. Namun demikian, pengendara jangan sampai lengah mengingat kondisi jalanan di ruas Tomok-Simanindo yang berkelok-kelok dan bertikungan tajam.

Di samping kondisi jalanan yang naik-turun dan berkelok-kelok itu, kehati-hatian dan kewaspadaan juga diperlukan karena beberapa ruas jalan mengalami kerusakan akibat aspal yang telah terkelupas, berlekuk, berlubang, dan retak maupun dampak longsor yang mengakibatkan kehancuran yang menyisakan jalan tanah berkrikil.

Untuk mengurangi risiko kecelakaan, instansi terkait di kabupaten berpenduduk 131.549 jiwa dengan luas daratan mencapai 1.444,25 kilometer persegi dan danau 624,80 kilometer persegi itu telah memasang perangkat kaca cembung di banyak tikungan tajam guna membantu pengendara melihat datangnya kendaraan dari arah berlawanan.

Setelah berkendara sekitar 35 menit, Huta Bolon Simanindo yang berada di sisi kiri jalan dari arah Tomok atau Tuktuk Siadong itu pun dicapai.

Disambut Lingkungan Asri memasuki kompleks Huta Bolon Simanindo ini, para pengunjung “disambut” lingkungan yang relatif bersih dengan barisan pepohonan.

Namun demikian, di tengah lingkungan kompleks yang asri itu, mereka mendapati jalanan berkrikil dan berbatu-batu.

“Kondisi jalan di dalam kompleks Huta Bolon Simanindo ini sudah lama rusak sehingga mengurangi kenyamanan pengunjung,” kata M.Sidauruk, pegawai Penerangan Pariwisata Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Samosir.

Di antara puluhan wisatawan asing yang berkunjung ke kompleks Huta Bolon Simanindo untuk melihat koleksi museum dan pertunjukan pesta adat “Mangalahat Horbo”, “Borotan” dan Gondang Sigale Gale di Huta Bolon Simanindo itu adalah Jonathan Daniels Rojas dan Lia Le Ster.

Kedua wisatawan Prancis itu mengawali kunjungannya ke museum yang menempati satu rumah adat Batak. Di dalamnya, terdapat sedikitnya 158 benda koleksi yang sebagian besar dipajang di lemari kaca yang menempel di sekeliling dinding bangunan rumah berbahan kayu itu.

Di antara benda-benda koleksi museum tersebut adalah guci, alat musik, senjata, peralatan rumah tangga, alat tenun, ulos, serta foto keluarga raja dan tamu raja. Jonathan dan Lia tampak serius memerhatikan semua koleksi museum tersebut kendati tak semuanya dilengkapi keterangan tertulis dalam Bahasa Inggris.

Di antara deretan koleksi yang menyedot perhatian mereka adalah beragam ulos dengan motif dan warna yang berbeda, Sorha (alat untuk memintal benang), Iran (alat untuk menggulung benang) serta Tongkat Balehat, tongkat kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis oleh mereka yang memercayainya.

Setelah puas melihat koleksi museum yang dipajang di rumah kayu dengan pintu masuk dan keluar yang terhubung dengan anak-anak tangga itu, mereka pun bergabung dengan belasan wisatawan mancanegara lainnya guna menyaksikan pertunjukan upacara adat yang digelar di halaman rumah Bolon peninggalan Raja Sidauruk itu.

Untuk menyaksikan keseluruhan rangkaian acara adat memotong kerbau dan memukul gondang itu, setiap penonton diwajibkan membayar tiket masuk sebesar Rp50 ribu. Jonathan dan Lia terlihat menikmati pertunjukan adat yang melibatkan 12 orang penari Tortor tersebut.

Bahkan, karena ketertarikan dan rasa ingin tahu mereka yang kuat, kedua wisatawan asal Kota Dijon, Prancis timur, ini ikut bergabung dengan belasan wisatawan asing lainnya untuk menortor bersama para penari Batak yang tampil di acara adat tersebut.

“Benar-benar pengalaman yang menyenangkan,” kata Jonathan seusai ikut menari bersama dengan para penari Tortor dengan iringan gendang khas Batak Toba itu.

Pertunjukan Pesta Adat “Mangalahat Horbo” yang diisi dengan Gondang Lae-Lae, Mula-Mula, Mula Jadi, Shata Mangaliat, Marsiolop-Olopan, Siboru, Sidoli, Pangurason, Tari Bersama dan Tortor Tunggal Panaluan itu diadakan dua kali sehari dari Senin hingga Sabtu, yakni pada 10.30-11.45 WIB dan 11.45-12.30 WIB.

Kehadiran Museum, pertunjukan Gondang Sigale-gale dan acara adat memotong kerbau ini menyertai perjalanan panjang obyek wisata Huta Bolon Simanindo yang menurut M.Sidauruk telah ada sejak 1969 ini, demikian kata M.Sidauruk.

Artikel ini ditulis oleh: