Yogyakarta, Aktual.com — Praktik poligami atau pernikahan dengan lebih dari seorang wanita bagi laki-laki di Indonesia dinilai merupakan hal yang lazim, apalagi di lingkungan keraton atau kerajaan.
Bahkan bagi raja memiliki istri lebih dari satu sepertinya justru merupakan “keharusan”, sehingga tak heran jika seorang raja beristri hingga empat orang ataupun lima orang wanita.
Salah satu keraton atau kerajaan di Jawa yang masih eksis hingga saat ini yakni Pura Mangkunagoro di Surakarta, Jawa Tengah. Keraton Mangkunegara awalnya merupakan kadipaten Mangkunagaran yang berdiri 17 Maret 1757 dengan Raja bergelar Mangkunagoro.
Salah satu Raja Pura Mangkunagoro yakni KGPAA Mangkunagoro VII yang memerintah pada 1855-1944. Sebagai lazimnya seorang raja, KGPAA Mangkunagoro VII memiliki istri lebih dari satu atau berpoligami, bahkan dia beristrikan tujuh orang wanita.
Salah satu istri KGPAA Mangkunagoro VII yakni Gusti Kanjeng (GK) Ratu Timoer, yang merupkan istri keempat. Perkawinan dengan GK Ratu Timoer, yang merupakan putri raja Yogyakarta Sri Sultan Hemengkubuwana VII tersebut, melahirkan seorang putri yang diberi nama Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani atau yang akrab disapa Gusti Noeroel. Tepatnya pada 17 Desember 1921.
Sebagaimana diceritakan dalam memoar “Gusti Noeroel, Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan)” yang ditulis Ully Hernomo, pada masanya Gusti Noeroel adalah seorang putri yang berpikiran maju, sangat kontras dengan kehidupannya di dalam Pura yang penuh layanan abdi dalem (abdi raja).
Dia seorang putri yang biasa mendengar gamelan jawa, tapi juga tetap mendengarkan lagu-lagu barat, menunggang kuda, main tenis, berenang, menari dan mengenakan kain, berkebaya dan menggelung rambut, serta menjalani tirakat.
Gustri Noeroel tetap menerima kemodernan dengan tangan terbuka, tapi bisa menjaga akar budayanya dengan belajar menari.
Dia selalu diajak mendampingi ayahnya dalam kegiatan resmi Mangkunagara, misalnya saat menyambut Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh, mengikuti kunjungan ke berbagai daerah, seperti di Bali bertemu Raja Karang Asem Ida Agung Anak Agung Bagus Djelantik.
Gusti Noeroel merupakan satu-satunya wanita “Indonesia” yang menari di hadapan Ratu Wilhelmina saat pesta pernikahan Putri Juliana dari Belanda dan Pangeran Bernhard bangsawan Jerman 7 Januari 1937. Ratu Wilhelmina yang kagum pada Gusti Noeroel memberinya gelar “de bloem van Mangkunegaran” atau kembang dari Mangkunegara.
Enggan Dimadu Sebagai seorang putri tunggal dari GK Ratu Timoer, menjadikan Gusti Noeroel begitu dekat dengan ibunya. Dia melihat keperihan ibunya, putri dari Keraton Yogyakarta yang dari awal pernikahan dengan seorang ningrat Solo yang memiliki wanita lain di luar dirinya. Hal itu sudah menjadi hal yang sangat wajar di lingkungannya pada saat itu.
Sebagaimana tertulis dalam buku setebal 286 halaman itu, dia bisa merasakan bahwa kedudukan ibunya sebagai permaisuri tidaklah sepenuhnya membahagiakan hati sang ibu.
“Saat aku memandang raut wajah ibu, di antara terangnya cahaya kamar tidak ada keceriaan sejati. Pada bola matanya kepedihan hatinya berbicara,” tuturnya.
Lebih lanjut apa yang dirasakan Gusti Noeroel diungkapkan, dalam kesehariaan, dia merasakan semua ini, mungkin karena romo yang memiliki banyak selir. Keprihatinan ini agaknya tercermin pada ucapan ibu yang sering dilontarkan padanya, “nduk mugo-mugo suk kowe ojo dimaru (nak mudah-mudahan nanti kamu tidak dimadu) (hal 32).
Oleh karena itu seorang Gusti Noeroel bertekat begitu kuat untuk tidak mau dimadu. “Diam-diam aku berjanji pada diriku sendiri bila kelak berumah tangga aku tidak akan pernah mau dimadu. aku bertekad dengan sungguh-sungguh.” Dari Soekarno hingga Sjahrir Dengan segenap kelebihan keterampilan, pemikiran dan paras cantiknya, tak heran Gusti Nurul menjadi sosok putri idaman bagi sejumlah pria. Tak cuma orang kebanyakan yang takjub namun juga pembesar negara. Sedikitnya, ada empat sosok orang penting yang menjadi penggemar Gusti Noeroel bahkan mereka juga berlomba memperebutkannya yakni Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, Sutan Sjahrir dan Kolonel GPH Djatikusumo.
Tetapi karena ia menentang pernikahan poligami, Gusti Nurul secara halus menampik semua uluran cinta kasih dari Soekarno, Sultan HB IX, Djatikusumo dan Sutan Sjahrir.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengutus utusan untuk meminang menjadi istri tapi ditolak. Gusti Noeroel mengungkapkan barangkali persoalan tak bersedia dimadu bisa saja disampaikan langsung pada Sri Sultan, dan bukan tak munkgin juga beliau berkenan memenuhi permohonannya. Namun dia lebih percaya dengan hati nuraninya untuk tetap mengatakan tidak dan harus berani menolak.
“Rasanya tidak adil bila aku mendesak Sultan untuk menceraikan garwa ampil nya. bagaimanapun juga mereka adalah kaumku. wanita mana yang mau diceraikan begitu saja karena sang suami mau menikah lagi dengan wanita lain? Aku tidak mau menyakiti wanita lain.(158) Aku tidak bisa tidur karena dimadu”.
Bangsawan lain dari Yogyakarta maupun pangeran-pangeran dari keraton Surakarta juga pernah punya maksud yang sama. Namun Gusti Noeroel tetap tidak bersedia menerima cinta mereka, penyebabnya hanya satu, dia tak mau dimadu. “Itu sudah menjadi tekadku,” ujarnya.
Seorang wanita cantik yang tidak ingin tergesa-gesa menentukan pilihan, Gusti Noerol pun sanggup melajang hingga umur 30 tahun, sebuah usia dianggap perawan tua pada masa itu.
Pada tahun 1951, Gusti Noeroel akhirnya menentukan pilihannya terhadap lelaki yang ingin menikahinya. Dia menikah dengan RM Soejarsoejarso Soerjosoerarso, seorang militer letnan kolonel bertugas di Bandung sebagai komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD.
Pria kelahiran 25 Agustus 1916 cucu Pakualam ke VI dari Yogjakarta, dari ibu dan cucu dari Mangkunagoro V sehingga masih terhitung sepupunya itu memiliki karakter lembut, dengan tutur kata sopan, khas didikan keluarga aristokrat.
Dengan gaya penulisan Ulli Hernomo yang bertutur langsung seolah Gusti Noeroel menyampaikan sendiri segala pengalaman, pemikiran dan pilihan hidupnya, membuat buku memoar ini enak dibaca dan dinikmati.
Dilengkapi dengan album foto-foto kehidupan Gusti Noeroel beserta keluarganya, menjadikan buku ini seperti catatan sejarah kecil yang melengkapi sejarah para tokoh bangsa seperti Soekarno, Sjahrir ataupun Sri Sultan Hemengkubuwono IX.
Perjalanan hidup Gusti Noeroel, kebiasaan, pemikirannya, foto-foto, barang-barang peninggalan hingga surat-surat yang dia tulis saat ini diabadikan di Museum Ullen Sentalu di kawasan Kaliurang Yogyakarta.
Sementara itu, Gusti Noeroel yang saat ini berusia 96 tahun menikmati hari tuanya di Kota Bandung. Jauh dari Pura Mangkunagara dengan suasana dan ikatan yang begitu indah dalam pura dengan layanan abdi dalem yang sangat setia. Dia memilih hidup bersama anak-anak serta cucu dan cicitnya.
Artikel ini ditulis oleh: