Jakarta, Aktual.com — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa anggota DPR yang diperiksa penegak hukum harus seizin presiden, tidak berlaku dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Hal ini dikatakan Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu, di Jakarta, Rabu (23/9).

“Sebenarnya ini tidak berlaku untuk OTT yang dilakukan oleh KPK atau pidana khusus lainnya yang sifatnya tangkap tangan,” ucap Masinton.

Kendati demikian, dengan adanya keputusan MK yang bersifat final and binding ini, mengharuskan presiden menyiapkan mekanisme administrasi berkoordinasi langsung dengan Sekretaris Negara (Sekneg).

“Agar bila ada surat masuk untuk meminta izin pemeriksaan pada presiden, bisa dilakukan dengan cepat,” ucapnya.

Ia mengingatkan, jangan sampai keputusan MK itu malah menjadikan presiden sebagai sasaran tembak dalam lambannya proses penegakann hukum kedepan.

“Ya (prosedurnya) memang jadi panjang. Jangan sampai presiden jadi sasaran tembak. Presiden disalahkan karena proses administrasi yang panjang. Presiden harus merespon cepat,” tandas dia.

Sebelumnya, keharusan ini dituangkan dalam putusan yang dimohonkan Perkumpulkan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. Pemohon meminta pemeriksaan penyidik tidak perlu izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKH) untuk memberikan kesamaan warga negara di muka hukum. Tapi anehnya, selain menghapuskan ketentuan itu, MK malah mengalihkan kewajiban penyidik meminta izin ke presiden.

“Frasa persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan pasal 245 ayat 1 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai persetujuan tertulis dari Presiden. Dan penyidikan serta pemanggilan harus melalui persetujuan tertulis dari Presiden,” ujar ketua majelis hakim, Arief Hidayat saat membacakan putusannya di Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (22/9).

Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan hal penting dalam permohonan a quo adalah apakah pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip judicial independence, equality before the law, prinsip non diskriminasi yang dijamin oleh Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 d ayat 1 Pasal 28 e ayat 1 UUD 1945.

Artikel ini ditulis oleh:

Novrizal Sikumbang