Jakarta, Aktual.com —  Komisi VI DPR RI belum mendapatkan laporan dari Rini Soemarno terkait kebijakannya berutang pada China Depelovment Bank (CDB) USD 3 Milliar untuk 3 Bank plat merah yaitu, BRI, BNI dan Mandiri. Terkait utang tanpa laporan tersebut, komisi VI  akan meminta keterangan dari MenBUMN  terkait utang Rp43,28 triliun tersebut.

“Melihat pergerakan mata uang dolar yang trendnya naik terus sejak dua tahun terakhir, maka dapat diprediksi pinjaman dalam bentuk USD suatu saat nanti pasti akan menjadi beban neraca pembayaran negara. Sebaiknya saat ini kita tidak melakukan pinjaman luar negeri dalam bentuk US dolar,” ujar ketua komisi VI DPR RI, Hafisz Tohir dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (24/9).

Menurutnya, alternatif terbaik untuk kondisi ekonomi Indonesia yang melemah saat ini adalah counter trade dengan negara-negara tujuan export Indonesia. Pinjaman dalam USD pasti terlalu beresiko. Pinjaman luar negeri sebaiknya yang pergerakannya mata uangnya tidak terlalu progresif seperti USD, misalnya Yen yang cenderung stabil.

“Sikap pemerintah yang mencari pinjaman di luar negeri menunjukkan bahwa likuiditas di dalam negeri sedang sulit, karena  pasar modal mengalami Capital Fight yang terus menerus di bursa saham. Kalau pemerintah tidak menutup krisis likuiditas ini dari utang maka solusinya adalah memakai cadangan devisa,” jelasnya.

Namun, lanjutnya, pemerintah masih malu untuk gunakan cadangan devisa. Pemerintah masih mencoba  dengan berutang dengan tameng mesin BUMN kita yang sebagian masih kuat.

“Meski diketahui presiden, namun tindakan ini kurang tepat. Yang paling penting adalah Pemerintah harus membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin, menciptakan lapangan pekerjaan dan pro growth sehingga tidak akan ditolak pasar. Saat ini masa keemasan Jokowi telah berakhir, Dia sudah ditolak pasar. Maka apa saja kebijakan Jokowi saat ini pasar bereaksi negatif,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka