Jakarta, Aktual.com – Putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara No.76/PUU-XII/2014 terkait Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MRR, DPR, DPD, dan DPRD, (MD3) dinilai langkah mundur penegakan hukum.

Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nasir Djamil dalam siaran persnya yang diterima Aktual.com, Jumat (25/9).

“Tidak ada hal yang baru dalam putusan MK tersebut, kita justru mundur ke rezim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 yang sudah lama dinyatakan tidak berlaku sejak adanya UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MD3” ungkap Nasir.

Lebih lanjut Nasir menuturkan langkah mundur ini justru mereduksi fungsi Majelis Kehormatan Dewan yang akan di optimalkan melalui UU Nomor 17 Tahun 2014.

“Seharusnya Majelis Hakim MK mempelajari terlebih dahulu maksud tujuan dari lahirnya suatu Undang-Undang, sehingga dalam memutuskan judicial review justru tidak mengabaikan upaya progresif yang sudah dilakukan sebelumnya” ujarnya.

Selain itu, Nasir menyatakan langkah memaksimalkan peran majelis kehormatan dewan merupakan niat untuk mengembalikan khittah sistem pemerintahan yang menganut pemisahan sistem kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

“Mahkamah Kehormatan Dewan dimaksudkan untuk menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat sebagai penerima mandat Pasal 20A UUD 1945, sehingga fungsi pengawasan internal di tingkat legislatif sudah sewajarnya dioptimalkan” paparnya.

Lebih lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengaku menyayangkan putusan MK tersebut, hal ini mengingat penerapan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dahulu tak pernah terbukti berhasil.

“Langkah untuk meminta persetujuan tertulis dari presiden telah dianggap kurang efektif sejak 2003, jika ini justru diterapkan lagi, saya tidak yakin penegakan hukum terhadap anggota MPR,DPR,DPD dan DPRD kian efektif” tegas Nasir.

Sekedar informasi, pada Selasa 22 September lalu, Mahkamah Konstitusi membuat keputusan bagi penegak hukum yang ingin memeriksa anggota dewan harus mendapat izin presiden. Dengan begitu, tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari MKD.

Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon, yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD.

Mahkamah menilai, pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Mengingat, MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

Mahkamah juga berpendapat, pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab, anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.

Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan hal tersebut terhadap anggota MPR dan DPD.

Sementara itu, pemanggilan anggota DPRD provinsi yang diduga berkaitan dengan proses hukum harus mendapat persetujuan dari mendagri. Adapun anggota DPRD kabupaten harus mendapat izin gubernur.

Dengan begitu, frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Pasal 245 ayat 1 selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.

Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Sebelumnya, pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3, dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD.

Artikel ini ditulis oleh: