Jakarta, Aktual.com — Hakim konstitusi Patrialis Akbar menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada). MK mengabulkan sebagian uji materi yang dimohonkan oleh Effendi Ghozali, dan atau memperbolehkan pelaksanaan Pilkada 2015 diikuti oleh satu pasangan calon (tunggal).

“Rumusan Undang-Undang (Pilkada) sudah tepat, yaitu pasangan calon dalam Pilkada paling sedikit 2 (dua) pasangan calon,” ucap Patrialis dalam amar putusannya, Selasa (29/9).

Menurutnya, persyaratan bagi pasangan calon adalah subyek hukum. Dimana subyek hukum tersebut adalah orang yang menenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Nah, pernyataan ‘Setuju’ atau ‘Tidak Setuju’ sama saja menyandingkan subyek hukum dengan non-subyek hukum.

“Pilkada bukan merupakan referendum, akan tetapi pemilihan dari beberapa pilihan atau lebih dari satu (calon) untuk dipilih,” kata dia.

Apabila calon tunggal dibenarkan dala Pilkada, Patrialis khawatir suatu saat akan terjadi penyelundupan hukum dan melahirkan liberalisasi. Misalnya dilakukan oleh para pemilik modal dengan ‘membeli’ partai politik agar nantinya Pilkada hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Dengan dibenarkannya calon tunggal dalam Pilkada, MK dinilai Patrialis terlalu jauh masuk pada kewenangan pembentuk Undang-Undang. Sementara UU Pilkada sendiri sebenarnya telah mengakomodir apabila Pilkada dalam suatu daerah kurang dari dua pasangan calon, yakni dengan adanya penundaan.

Berdasarkan seluruh Undang-Undang yang mengatur proses pemilihan, tidak dapat ditentukan adanya pemahaman calon bersifat tunggal. Disebut bagaimana tahapan Pilkada sebagaimana diatur Pasal 5 UU Pilkada. Keseluruhan proses dalam tahapan-tahapan yang ada merupakan satu-kesatuan.

“Dari keseluruhan tahapan tersebut, maka tentunya tahapan tersebut tidak dapat dijalankan oleh peserta Pilkada non-subyek hukum (pernyataan setuju-tidak setuju. Demikian pula dengan pelaksanaan kampanye, maka pasangan calon non-subyek hukum tentu tidak dapat melaksanakannya,” jelas Patrialis.

Dari aspek tahapan ini, lanjut dia, sudah terlihat unsur ketimpangan dan ketidakseimbangan apabila pasangan calon subyek hukum harus disandingkan dengan peserta Pilkada non-subyek hukum.

Penyelenggara Pilkada merujuk UU Pilkada pada dasarnya juga harus memberlakukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara adil dan setara. Lalu, dengan cuma satu calon bagaimana mungkin kewajiban penyelenggara Pilkada dapat memberlakukannya secara adil antara subyek hukum dengan non-subyek hukum.

“Menurut penalaran akal sehat dan wajar pastilah penyelenggara Pilkada tidak bisa memberlakukan secara setara dan adil terhadap pasangan calon yang abstrak atau pernyataan setuju atau tidak setuju,” imbuhnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby