Jakarta, Aktual.com — Putusan MK soal pasangan calon tunggal harus dipatuhi semua pihak. Akan tetapi, secara akademis, putusan tersebut tidak diharamkan untuk dikritisi. Bukan untuk menyalahkan MK ataupun pihak lain, namun lebih kepada memberikan pemahaman sekaligus membuka mata perihal persoalan calon tunggal hingga akhirnya diperbolehkan MK.
“Ada beberapa hal yang perlu dikritisi, saya berpandangan setidaknya ada 10 hal yang patut dikritisi dari putusan tersebut,” terang pemerhati pemilu dari Sinergi Masyarakat Untuk Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, kepada Aktual.com, Rabu (30/9).
Pertama, MK kurang komprehensif dalam membedah permasalahan pasangan calon (Paslon) tunggal. MK cenderung terfokus pada permasalahan, tetapi tidak mau melihat apa yang sesungguhnya menjadi akar permasalahannya. Said melihat akar masalah sesungguhnya adalah karena terlalu beratnya persyaratan pencalonan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Jika sebelumnya syarat dukungan Paslon yang diusung parpol, misalnya, minimal 15 persen baik perolehan kursi DPRD ataupun perolehan suara partai pada Pemilu. Sekarang, UU menaikkan persyaratannya menjadi minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara Pemilu. Akibatnya, hanya sedikit Paslon yang bisa diusung parpol.
“Benar parpol diperbolehkan untuk berkoalisi, tetapi itu bukan perkara yang mudah. Dulu, saat syarat dukungan paslon masih terjangkau, kita tidak menjumpai ada kasus paslon tunggal,” terangnya.
KPU dalam hal ini, turut memperburuk keadaan dengan membuat aturan yang juga menghambat pendaftaran paslon. Kegiatan penelitian persyaratan yang dilakukan oleh KPUD pada tahap pendaftaran membuat banyak paslon gagal mencalonkan diri. Padahal, antara tahap pendaftaran dan tahap penelitian adalah dua tahapan yang secara tegas diatur berbeda oleh UU.
Sampai disini, ia menyinggung bagaimana pada masa pendaftaran calon lalu begitu banyak yang ditolak oleh KPUD sehingga di beberapa daerah muncullah kasus paslon tunggal. Pada titik inilah seharusnya MK memainkan perannya.
Kedua, MK dinilai tidak berpijak pada ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menekankan kata ‘Dipilih’ dalam pengisian jabatan kepala daerah. Dalam sistem pengisian jabatan, kata dipilih menunjuk kepada sebuah sistem bernama pemilihan (election). Soal caranya mau dilaksanakan langsung (direct election) atau tidak langsung (indirect election) itu soal lain. Tetapi yang pasti didalam sistem pemilihan dikehendaki adanya lebih dari satu calon. Itulah salah satu ciri dari sistem pemilihan.
Kalau hanya satu calon, itu merupakan ciri dari sistem penetapan seperti pada pengisian jabatan Gubernur dan Wagub DIY yang merujuk Pasal 18B UUD 1945, atau sistem pengangkatan(appoinment). Seperti misalnya pengisian jabatan kepala daerah pada masa Orde Lama dan Orde Baru, atau sistem penggiliran seperti untuk pengisian jabatan Raja Malaysia.
“Ketiga, tidak benar pendapat MK yang menyatakan terjadi kekosongan hukum dalam kasus Paslon tunggal. Bukankah sudah ada Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur ketentuan dalam hal terjadi Paslon tunggal? Apakah PKPU bukan bagian dari hukum sehingga dianggap tidak ada oleh MK?,” tandasnya.
Permasalahan keempat, menurut Said tidaklah benar penilaian MK bahwa PKPU yang mengatur perpanjangan masa pendaftaran dan penundaan Pilkada dalam hal masih terdapat Paslon tunggal tidak menyelesaikan persoalan. Sebab model Pilkada ala MK juga berpeluang untuk terjadi penundaan dalam hal rakyat yang menyatakan “Tidak Setuju” jumlahnya lebih banyak dari Paslon tunggal.
Kelima, model Pilkada ala MK telah mengubah pengertian atau makna pemilihan. Yang namanya pemilihan itu kan memilih calon atau orang, bukan untuk menyatakan sikap “Setuju” atau “Tidak Setuju”. Sebab apabila yang ingin dikejar dari pemilih adalah pernyataan “Setuju” atau “Tidak Setuju” maka tidak perlu susah-payah pemilih harus datang ke TPS hanya untuk menyatakan tidak setuju, misalnya.
Keenam, model Pilkada ala MK berpotensi menyebabkan membengkaknya anggaran Pilkada. Dalam hal Pilkada harus dilaksanakan dua kali atau mungkin lebih akibat lebih banyak pemilih yang menyatakan tidak setuju dengan Paslon tunggal, maka sudah barang tentu anggaran Pilkada juga harus berkali-kali lipat. Ini tentu tidak sesuai dengan salah satu tujuan diselenggarakannya Pilkada serentak, yaitu agar negara bisa melakukan efisiensi.
Ketujuh, secara teknis Pilkada ala MK akan merepotkan pemilih. Apabila Pilkada tetap harus diundur, maka pemilih harus bolak-balik ke TPS. Ini tentu membuat ‘ribet’ pemilih.
Kedelapan, konsekuensi apabila Pilkada terpaksa dilaksanakan lebih dari satu kali, maka jumlah hari libur juga akan bertambah, sebab Pilkada harus diselenggarakan pada hari yang diliburkan.
Kesembilan, ada dampak yang sangat serius dari diperbolehkannya Paslon tunggal dalam Pilkada. Ketika MK mengatakan alasannya untuk menyelamatkan hak rakyat, maka dengan dalih yang sama boleh jadi kelak MK pun akan memperbolehkan Paslon tunggal dalam Pilpres.
“Dapatkah anda membayangkan hal itu? Jangan bilang itu tidak mungkin terjadi. Paslon tunggal dalam Pilkada pun pada awalnya diperkirakan tidak akan terjadi,” ucapnya.
Kesepuluh, Said menyayangkan sikap MK yang tidak memberikan kesempatan kepada pembentuk UU untuk hadir dalam persidangan guna menjelaskan intensi dari pasal yang sedang diuji. Benar MK tidak wajib meminta keterangan dari DPR dan Presiden, tetapi mengapa MK justru merasa penting untuk mengundang KPU? Padahal ini kan Judicial Review (JR) norma UU terhadap konstitusi, bukan JR Peraturan KPU terhadap UU.
Akibat dari tidak didengarnya keterangan DPR dan Presiden sebagai lembaga yang paling tahu tentang maksud dan tujuan dari dibuatnya norma yang diuji, maka pada tingkat tertentu pastilah mempunyai pengaruh terhadap apa yang kemudian diputuskan MK.
Artikel ini ditulis oleh: